Senin, 12 Oktober 2009

SEJARAH PROMOSI KESEHATAN




Istilah propaganda sering dikaitkan dengan bidang politik. Namun sebenarnya tidak selalu demikian. Bisa juga tentang masalah sosial, termasuk kesehatan. Di zaman pra dan awal kemerdekaan dulu propaganda masalah kesehatan itu sudah dilakukan. Pada waktu itu cara propaganda itulah yang dilakukan untuk memberi penerangan kepada masyarakat tentang kesehatan. Propaganda pada waktu itu dilakukan dalam bentuknya yang sederhana melalui pengeras suara atau dalam bentuk gambar dan poster. Juga melalui film layar tancap. Cara-cara itu kemudian berkembang, karena propaganda dirasakan kurang efektif apabila tidak dilakukan upaya perubahan atau perbaikan perilaku hidup sehari-hari masyarakat. Maka dilancarkanlah upaya pendidikan kesehatan masyarakat (health education) yang dipadukan dengan upaya pembangunan masyarakat (community development) atau upaya pengorganisasian masyarakat (community organization).
Upaya ini berkembang pada tahun 1960 an, sampai kemudian mengalami perkembangan lagi pada tahun 1975 an, menjadi “Penyuluhan Kesehatan”. Meski fokus dan caranya sama, tetapi istilah “Pendidikan kesehatan” itu berubah menjadi “Penyuluhan Kesehatan”, karena pada waktu itu istilah “pendidikan” khusus dibakukan di lingkungan Departemen Pendidikan. Pada sekitar tahun 1995 istilah Penyuluhan kesehatan itu berubah lagi menjadi “Promosi Kesehatan”. Perubahan itu dilakukan selain karena hembusan perkembangan dunia (Health promotion mulai dicetuskan di Ottawa pada tahun 1986), juga sejalan dengan paradigma sehat, yang merupakan arah baru pembangunan kesehatan di Indonesia. Istilah itulah yang berkembang sampai sekarang, yang antara lain menampakkan wujudnya dalam bentuk pemasaran atau iklan, yang marak pada era milenium ini.
Perjalanan dari propaganda, kemudian menjadi pendidikan, lalu penyuluhan dan sekarang promosi kesehatan itu, merupakan sejarah. Dalam perjalanan dari waktu ke waktu itu ada kejadian atau peristiwa yang patut dikenang, dan ada cerita atau kisah yang menarik, mengharukan, atau juga lucu. Tetapi yang penting pastilah ada hikmah, kebijaksanaan, nilai atau “wisdom” yang dapat diangkat dari rentetan kisah atau cerita itu. Hikmah, kebijaksanaan, nilai atau “wisdom” itu tentulah sangat besar manfaatnya bagi kita semua, terutama generasi muda yang merupakan penerus pembangunan bangsa tercinta ini. Kebijaksanaan itu pula yang rasanya patut sekali dapat dimiliki oleh para pembuat kebijakan, yang menentukan arah perkembangan negara kita di masa yang akan datang

ERA PROPAGANDA DAN PENDIDIKAN KESEHATAN RAKYAT
(Masa Penjajahan dan Awal Kemerdekaan sampai sekitar Tahun 1960 an)





Masa Penjajahan

Mula-mula Belanda, untuk kepentingan mereka sendiri, membentuk Jawatan Kesehatan Tentara (Militair Geneeskundige Dienst) pada tahun 1808. Itu terjadi pada waktu pemerintahan Gubernur Jendral H.W. Daendels, yang terkenal dengan pembuatan jalan dari Anyer sampai Banyuwangi, yang membawa banyak korban jiwa penduduk. Pada waktu itu ada tiga RS Tentara yang besar, yaitu di Batavia (Jakarta), Semarang dan Surabaya. Usaha kesehatan sipil mulai diadakan pada tahun 1809, dan Peraturan Pemerintah tentang Jawatan Kesehatan Sipil dikeluarkan pada tahun 1820. Pada tahun 1827 kedua jawatan digabungkan dan baru pada tahun 1911 ada pemisahan nyata antara kedua jawatan tersebut. Pada permulaannya, perhatian hanya ditujukan kepada kelompok masyarakat penjajah (Belanda) sendiri, beserta para anggota tentaranya yang juga meliputi orang pribumi. Sedangkan usaha untuk mempertinggi kesehatan rakyat secara keseluruhan baru dinyatakan dengan tegas dengan dibentuknya Jawatan/Dinas Kesehatan Rakyat pada tahun 1925. Sedangkan pelayanan kesehatan yang mula-mula dilakukan adalah pengobatan dan perawatan (upaya kuratif), melalui RS Tentara.
Pada waktu itu sebagian besar rakyat di pedesaan masih sangat dipengaruhi oleh kebiasaan, kepercayaan akan tahayul, sedangkan pengobatan lebih percaya pada dukun. Ibu-ibu pada waktu melahirkan bayinya juga lebih banyak ditolong oleh dukun. Kondisi hygiene-santasi masih sangat buruk, dan berobat ke dokter masih menimbulkan rasa takut. Banyak penyakit timbul karena pola hidup yang tidak bersih dan tidak sehat. Pada waktu itu sering terjadi wabah malaria, kolera, sampar, dan cacar. Di samping itu juga sering terjadi wabah busung lapar di daerah-daerah tertentu. Sedangkan penyakit frambusia/patek/puru, kusta dan tuberkulosis merupakan penyakit rakyat. Usaha preventif pertama yang dilakukan adalah pemberian vaksin cacar yang hanya dilakukan dalam kelompok terbatas. Usaha lainnya yang sebenarnya tertua usianya adalah pengasingan para penderita kusta, tetapi itu lebih sebagai usaha pencegahan penularan semata-mata. Selain itu juga ada kegiatan pengasingan para penderita sakit jiwa, yang hanya dilakukan terhadap mereka yang berbahaya bagi masyarakat sekelilingnya.
Dengan adanya wabah kolera, pada tahun 1911 di Batavia dibentuk badan yang diberi nama “Hygiene Commissie” yang kegiatannya berupa: memberikan vaksinasi, menyediakan air minum dan menganjurkan memasak air untu diminum. Perintis usaha ini adalah Dr. W. Th. De Vogel. Selanjutnya pada tahun 1920 diadakan jabatan “propagandist” (juru penyiar berita) yang meletakkan usaha pendidikan kesehatan kepada rakyat melalui penerbitan, penyebar luasan gambar dinding, dan pemutaran film kesehatan. Usaha ini karena penghematan dihentikan pada tahun 1923.



“Medisch Hygienische Propaganda”

Pada tahun 1924 oleh pemerintah Belanda dibentuk Dinas Higiene. Kegiatan pertamanya berupa pemberantasan cacing tambang di daerah Banten. Bentuk usahanya dengan mendorong rakyat untuk membuat kakus/jamban sederhana dan mempergunakannya. Lambat laun pemberantasan cacing tambang tumbuh menjadi apa yang dinamakan “Medisch Hygienische Propaganda”. Propaganda ini kemudian meluas pada penyakit perut lainnya, bahkan melangkah pula dengan penyuluhan di sekolah-sekolah dan pengobatan kepada anak-anak sekolah yang sakit. Timbullah gerakan, untuk mendirikan “brigade sekolah” dimana-mana. Hanya saja gerakan ini tidak lama usianya.
Baru pada tahun 1933 dapat dimulai organisasi higiene tersendiri, dalam bentuk Percontohan Dinas Kesehatan Kabupaten di Purwokerto. Dinas ini terpisah dari Dinas Kuratif tetapi dalam pelaksanaannya bekerjasama erat. Dalam hubungan usaha higiene ini perlu disebutkan nama Dr.John Lee Hydrick dari Rocckefeller Fundation (Amerika), yang memimpin pemberantasan cacing tambang mulai tahun 1924 sampai 1939, dengan menitik beratkan pada Pendidikan Kesehatan kepada masyarakat. Ia mengangkat kegiatan Pendidikan Kesehatan Rakyat (Medisch Hygienische Propaganda) dengan mengadakan penelitian operasional tentang lingkup penderita penyakit cacing tambang di daerah Banyumas. Ia menyelenggarakan kegiatan Pendidikan Kesehatan tentang Hygiene dan Sanitasi, dengan mencurahkan banyak informasi tentang penyakit-penyakit yang berkaitan dengan kebersihan dan kesehatan lingkungan serta usaha pencegahan dan peningkatan kesehatan (cacing tambang, malaria, tbc.). Ia mengadakan pendekatan dalam upaya membangkitkan dan menggerakkan partisipasi masyarakat (pendekatan seperti ini nanti dikenal dengan nama “pendekatan edukatif”). Yang menonjol pada waktu itu adalah penggunaan media pendidikan (booklets, poster, film dsb) dan juga kunjungan rumah yang dilakukan oleh petugas sanitasi yang terdidik.
Sebagai pelaksana kegiatan pendidikan kesehatan dalam bidang Hygiene dan Sanitasi, seorang dokter pribumi bernama Dr. Soemedi, kemudian mendirikan Sekolah Juru Hygiene di Purwokerto. Usaha ini kemudian dilanjutkan oleh Dr. R. Mochtar yang kemudian menjabat sebagai Kepala Bagian Pendidikan Kesehatan Rakyat (Medisch Hygienische Propaganda Dienst). Sehubungan dengan karya atau usaha Dr. Hydrick itu, Dr. R. Mochtar mengemukakan sbb.:

“Selama penyelidikan itu, diadakan penerangan kepada penduduk tentang penyakit cacing dengan menggunakan film, dan gambar-ganbar sorot. Hasil penerangan itu begitu besar, hingga terjadilah keyakinan, bahwa mungkin sekali kepada penduduk diberikan pengetahuan lebih lanjut tentang kesehatan itu dan tentang penyakit dengan jalan mengadakan propaganda tentang kesehatan dan organisasi pekerjaan hygiene secara seksama.

Kemudian timbul suatu pekerjaan secara teratur dalam lapangan Medisch Hyg. Propaganda dan hygiene yang seksama di daerah-daerah desa, dibawah pimpinan dokter-dokter. Suatu daerah percontohan diadakan di wilayah Kabupaten Banyumas . Disamping itu diadakan suatu sekolah Mantri Kesehatan.
Berkat kegiatan mereka jang mendjalankan tugasnja dalam lapangan tersebut, maka pekerdjaan tadi dalam arti sebenarnyja mendjelma sebagai suatu pendidikan tentang kesehatan kepada rakyat bukan saja suatu medisch hygiensche propaganda.
Meskipun para pegawai acapkali menghadapi orang-orang jang salah faham tentang pekerjaan itu dan mengalami berbagai penghinaan, akan tetapi dengan penuh keyakinan tentang kesucian pekerjaan itu, mereka menjalankan tugasnya, sehingga pendidikan kesehatan rakjat itu memperoleh tempat dalam usaha Pemerintahan dalam lapangan kesehatan rakjat, bahkan sejak pecahnya revolusi pada tahun 1945 di Indonesia telah dibangun urusan hygiene desa atas dasar pendidikan kesehatan rakyat.
Perang dunia ke II mengakibatkan datangnya zaman baru. Arus gelombang gerakan kesehatan rakyat di dunia telah juga meliputi Indonesia. Di Indonesia filsafat kesehatan yang dianjurkan oleh W.H.O. itu diterima pula dan dijadikan dasar dalam gerakan kesehatan rakyat di Indonesia. Oleh karena itu dapat diramalkan, bahwa pekerjaan Pendidikan Kesehatan Rakyat itu terus menerus akan memperoleh perhatian besar dari pemerintah, maupun masyarakat. Filsafat yang diandjurkan oleh W.H.O. itu ialah, bahwa kesehatan itu adalah :

“a state of complete physical, mental and social wellbeing and not merely the absence of disease or infirmity”(Suatu keadaan sempurna mengenai tubuh, rohani dan sosial, bukan saja tidak ada penjakit, uzur arau cacad).

Riwayat Kesehatan Rakyat memperlihatkan, bahwa pada permulaannya Usaha Kesehatan Rakyat itu ditujukan kepada usaha menyehatkan lingkungan hidup dan pemberantasan penjakit; usaha itu didjalankan untuk rakyat dengan jika perlu menggunakan juga undang-undang.
Akan tetapi dalam bentuk Usaha Kesehatan Rakyat yang paling baru, usaha-uaaha itu dijalankan untuk rakyat dengan ikut sertanya rakyat. Ini berarti bahwa penyelenggaraanUsaha Kesehatan Rakyat itu membutuhkan juga gerakan rakyat ke jurusan tadi. Hal ini sungguh lebih sukar daripada menjalankan usaha itu tidak dengan syarat bahwa rakjat juga harus ikut mengadakan inisiatif.
Inisiatif rakyat tadi perlu dibangunkan dengan jalan pendidikan, agar rakyat dapat mengerti dan suka sama-sama bekerja dengan pemerintah untuk keperluan mereka sendiri. Bantuan rakyat itu harus berdasarkan atas inteligensi”.

(R.Mochtar, M.D.,M.P.H. –1954, tulisan sudah disesuaikan dengan ejaan baru)



Pendidikan Kesehatan Rakyat

Dalam tulisannya tersebut, Dr. R. Mochtar jelas memberikan gambaran betapa penting arti Pendidikan Kesehatan Rakyat dalam upaya membangkitkan dan menggerakkan partisipasi masyarakat dalam Kesehatan Rakyat, yang sejak sebelum Hydrick, yaitu 1911, sudah mulai digalakkan oleh pemeritah Belanda. Ada bebarapa pokok penting yang dapat diangkat dari tulisan Dr. R.Mochtar, yaitu :


  1. Pendidikan Kesehatan Rakjat (PKR) sudah dirasakan pentingnya sejak permulaan abad ke XX, namun direalisasikan dalam bentuk kegiatan nyata baru dalam tahun 1911, yang dikenal dengan nama Medisch Hygienische Propaganda.

  2. Pendidikan Kesehatan Rakyat (PKR) terkait pada program kesehatan, yaitu Hygiene dan Sanitasi lingkungan (PKR bukan suatu program yang berdiri sendiri)

  3. Walaupun Pendidikan Kesehatan merupakan bagian dan kegiatan terintegrasi dalam program-program kesehatan, namun hal ini perlu ditangani secara “professional”. Untuk ini perlu organisasi/unit kerja khusus yang menangani Pendidikan Kesehatan, dan diperlukan pula tenaga terdidik atau terlatih. Dalam hal ini tenaga sanitasi, disiapkan untuk mampu memberikan pendidikan tentang kesehatan dan sanitasi kepada masyarakat desa, disertai alat/media pendidikan (Audio Visual Aid ). Tenaga “Health Educators” ini bekerja dengan penuh keyakinan dan dedikasi.


Pada waktu itu sudah ada anggapan bahwa Pendidikan Kesehatan tidak diperlukan, jika masyarakat telah maju. Hal ini tidak dibenarkan oleh Dr.R.Mochtar, karena kenyataan memperlihatkan bahwa di negara-negara yang telah majupun kegiatan Pendidikan Kesehatan Rakyat masih diperlukan dan dilaksanakan. Cara pendekatan, metodologi serta tehnologi yang dipergunakan disesuaikan dengan kemajuan masyarakat setempat.
Sedangkan Dr. J. Leimena (1952) mengangkat beberapa prinsip “pioneering job” Dr. J.L. Hydrick, khususnya yang berkaitan dengan pentingnya health education, sbb.:
Principles : The idea underlying the organization of this intensive hygiene work was the belief that if health education could instill in the people an understanding of the fundamental rules of hygiene and a realization of the importance and necessity of healthful habits of life, many diseases and condition might be brought under control and in time might be eradicated.
Purpose : The purpose of the work is to awaken in the people a permanent interest in hygiene and stimulate them to adopt habits and to carry out measures which will help them secure health and remain healthy.
Cooperation of the people: In order to secure the cooperation of the people, health education work must propose practicable measures, so that the people will be able to give cooperation. Further it is of the greatest importance that not only the children be taught hygiene and health, but that also the adults be taught at the same time, so that each group will support the other. This cooperation is very valuable.
The spirit of the approach : …They should be lead, not driven. They should be stimulated and lead to express a desire to live more hygienically. It is the task of the health worker to create the desire.
A subject with which to begin : ….to begin with an attempt to bring about in the people an understanding of the fundamental facts involved in the cause, transmission and prevention of a wide spread chronic disease.
….if the people can be taught that they themselves can carry out certain simple measures which will help them to avoid one of the chronic diseases, they will learn to live more hygienically and thus build up their resistance to many other diseases.

Laying the foundation for general hygienic work: If this new sanitary habits become permanent, then there has been laid the foundation upon which general hygiene work can be built

…..It was therefore not intended that the Division of Public Health Education should conduct only a campaign against soil and water pollution, but it should thereby lay a foundation for a broad general campaign for hygiene by teaching the dangers of the pollution of soil and water.

Memaknai apa yang diuraikan dalam kutipan tersebut di atas, ada contoh menarik. PT Unilever dalam rangka mempromosikan produksinya berupa sabun mandi dan pasta gigi, sering mengadakan bioskop keliling dengan layar tancap. Pada zaman belum ada televisi, bioskop semacam ini sangat digemari oleh masyarakat, terutama di pedesaan. Di sela-sela pertunjukan film dengan cerita tertentu sering diselipkan pendidikan/penyuluhan kesehatan. Yaitu dengan selipan slide film yang antara lain menunjukkan tokoh kartun yang memerankan petugas laboratorium yang sedang meneropong secawan air mentah dengan mikroskop. Melalui alat itu terlihat bahwa air mentah itu banyak mengandung kuman atau bakteri dengan berbagai bentuk yang berkeliaran, berjingkrak-jingkrak dan menari-nari di dalam air tersebut. Adegan berikutnya adalah air di cawan itu langsung diminum oleh tokoh kartiun yang lain dengan akibat beberapa lama kemudian merasakan sakit perut dan beberapa kali buang air besar. Lalu dijelaskan oleh narrator dari slide film tersebut itulah akibatnya apabila kita minum air tanpa dimasak lebih dahulu. Sang narrator menganjurkan agar air sebelum diminum agar dimasak lebih dahulu. Kemudian ditunjukkan slide film berikutnya bahwa melalui mikroskop terlihat bahwa kuman-kuman itu pada mati dan tidak berkeliaran lagi dalam air yang sudah dimasak. Sang narrator menjelaskan bahwa air yang sudah dimasak aman dari gangguan penyakit. Dari silide film sederhana ini ternyata banyak penduduk pedesaan yang memasak air sebelum diminum.

“Prevention is better than cure”

Usaha Kesehatan Rakyat yang semula lebih ditekankan pada usaha kuratif, lambat laun berkembang pula kearah preventif. Sebagian dari usaha kuratif diserahkan pada “inisiatif partikelir” (1917 – 1937) seperti Zending, Missie, Bala Keselamatan (Leger des Heils), perusahaan perkebunan. (Dr.J.Leimena, 1952). Dalam tahun 1937 sampai meletusnya Perang Dunia ke II, Pemerintah Pusat menyerahkan usaha kuratif kepada daerah otonom, namun tetap diawasi dan dikoordinir oleh Pemerintah Pusat.
Seiring dengan perkembangan dalam bidang kuratif, maka usaha preventif juga berkembang. Usaha kuratif dan preventif mulai digalakkan dan dikembangkan di perusahaan-perusahaan perkebunan Belanda yang memang bertujuan untuk meningkatkan derajat kesehatan para pekerja perkebunan, dan dengan demikian meningkat pula daya kerja (arbeidscapaciteit) dan daya produksinya (productie capaciteit) .
Penelitian dalam bidang bakteriologi dan epidemiologi menambah luas wawasan pengetahuan tentang sebab penyakit menular dan cara pencegahannya, seperti, cholera, desentri, typhus. Demikian pula halnya dengan penelitian tentang penyakit rakyat, seperti TBC, frambusia, cacing tambang, malaria dsb. Agar masyarakat sadar dan berpartisipasi dalam upaya pencegahan dan upaya peningkatan kualitas kesehatannya, maka sudah pada tempatnya jika informasi terkini mengenai perkembangan dalam bidang kesehatan dapat disalurkan ke masyarakat, seperti penyebab penyakit, cara penangulangannya atau cara pencegahannya. Disinilah Pendidikan Kesehatan dapat mewujudkan perannya dengan jelas.
Apa yang telah dirintis oleh Hydrick tersebut kemudian ternyata dilanjutkan oleh Pemeritah (Belanda). Perhatian Pemerintah Belanda terhadap usaha preventif dilaksanakan melalui berbagai kegiatan, tindakan dan peraturan (perundang-undangan). Motto yang berbunyi “Prevention is better than cure” diwujudkan dalam berbagai kegiatan a.l. :


  • vaksinasi cacar, typus, cholera, desentri, pes

  • pendaftaran kelahiran, kematian

  • pelaporan tentang penyakit menular, sakit jiwa

  • pengawasan : air minum, pabrik, tempat pembuatan makanan dan minuman, saluran limbah ait/riolering, pembuangan sampah, perumahan.

  • Termasuk upaya pendidikan kepada rakyat tentang peraturan dalam pemeliharaan kesehatan diri dan lingkungan.


Dengan demikian upaya pencegahan semakin dipandang sebagai usaha yang penting, demikian pula upaya pendidikan kesehatan kepada masyarakat.

Masa Pendudukan Jepang dan Awal Kemerdekaan

Dengan pecahnya Perang Dunia ke II dan pendudukan Jepang (1942 –1945) maka semua sistem pemerintahan praktis mengalami disorganisasi, karena semua usaha ditujukan untuk kepentingan perang (Pemerintahan dan orang-orang Jepang). Pendidikan, ekonomi, kehidupan sosial, kesehatan amat sangat terpuruk. Sumber daya alam dan sumber daya manusia, semua dikerahkan untuk kepentingan Jepang. Dimana-mana hanya terlihat kemiskinan, penderitaan, kelaparan, dan penyakit. Hidup masyarakat sangat tertekan. Situasi ini berlangsung sampai tahun 1945, saat berakhirnya Perang Dunia ke II. Pada tahun 1945 Jepang menyerah dan Indonesia memproklamasikan kemerdekaan serta memperjuangkannya dengan melawan tentara sekutu (Amerika dan Inggris) dan Belanda yang ingin memperoleh kembali supremasi penjajahannya di Indonesia.
Disorganisasi Usaha Kesehatan Masyarakat yang sejak zaman pendudukan Jepang sudah kacau, berlangsung terus dalam periode revolusi fisik (1945 – 1949). Banyak fasilitas Kesehatan tidak dapat dipergunakan karena rusak, bahkan para petugas kesehatan pun banyak yang meninggalkan posnya, bergabung dalam barisan gerilyawan melawan Belanda, Amerika dan Inggris. Dalam kaitan itu perlu dicatat bahwa banyak tenaga dokter dan tenaga kesehatan lainnya yang menjadi pejuang dan di antaranya ada yang gugur di medan perang, atau menjadi korban perang.
Dalam periode revolusi fisik itu (Agustus 1945 – Desember 1949), masih ada dua sistem pemeritahan, yaitu Belanda yang berpusat di Jakarta, dan Republik Indonesia yang berpusat di Yogyakarta. Dengan demikian maka selama 8 tahun (1942 – 1949), Indonesia mengalami masa yang sangat memprihatinkan. Banyak fasilitas kesehatan yang tidak dapat dipergunakan, karena rusak, ditinggalkan, bahkan para petugas kesehatanpun meninggalkan posnya untuk turut bergabung dengan para gerilyawan. Obat-obatan didaerah Republik juga sulit.
Baru setelah penyerahan Kedaulatan (27 Desember 1949), Pemerintah memberikan perhatian pada kesehatan rekyat. Pemerintah (RI) juga memberikan perhatiannya pada kesehatan masyarakat di desa. Pada waktu itu dikembangkan Usaha Pembangunan Masyarakat Desa yang antara lain melakukan pendidikan kesehatan kepada masyarakat. Pada waktu itu ada yang disebut Gerakan Kebersihan, Pekan Kerja Bakti, dll. Diadakan pula Usaha Kesehatan di sekolah-sekolah, yang berkaitan dengan kebersihan diri dan lingkungan, perbaikan gizi, dll. Bahkan di masa masih bergolak (1948) sudah didirikan sekolah untuk penyuluh kesehatan di Magelang dan dibuat dua daerah percontohan, yaitu di Magelang dan Yogyakarta.



Empat Sehat Lima Sempurna dan “Bandung Plan”

Pada sekitar tahun 1950 an itu masalah gizi cukup menonjol. Dengan ukuran sesuai Nutritional Standard (`id`, `date`, `writer`, `title`, `pict_name`, `pict_dname`, `attach_name`, `attach_dname`, `news_type_id`, `description`, `lang`, `attach1_name`, `attach1_dname`, `attach2_name`, `attach2_dname`, `dt_created`, `dt_updated`) VALUES ditentukan tingkat keadaan gizi dengan menggunakan indeks. Dengan demikian dapat ditentukan keadaan gizi: kurang, minimal, normal, atau optimal. Golongan gizi minimal oleh Prof. Dr. Poerwo Soedarmo disebut golongan “tidak sakit dan tidak sehat”. Sementara itu “kwashiorkhor” dan “xerophthalmia” sebagai masalah gizi pda golongan anak para sekolah mendapat banyak perhatian. Selain penyelidikan secara mendalam, usaha perbaikan dilakukan melalui penyuluhan gizi dan penggalian sumber makanan bernilai gizi.
Penerangan kepada masyarakat dilaksanakan melalui kursus yang diselenggarakan oleh berbagai organisasi, maupun melalui pers dan radio. Pada waktu itu diperkenalkan semboyan atau pesan : “Empat Sehat Lima Sempurna”, sesuai dengan pola makanan Indonesia. Pesan tersebut berhasil disebar luaskan dan menjadi populer. Pesan tersebut juga banyak terpampang di dinding-dinding sekolah. Pengertian semboyan tersebut ternyata berhasil dihayati masyarakat. Pesan itu sangat efektif dan mudah dihafal, bahkan masih relevan sampai sekarang.
Selanjutnya pada sekitar tahun 1951, oleh Dr. J. Leimena dan Dr. Patah diperkenalkan “Konsep Bandung” atau “Bandung Plan”, yang menggambarkan perpaduan antara upaya kuratif dan preventif. Konsep tersebut sebenarnya tidak lain dari konsep Communiyty health, yang merupakan dasar bagi pengembangan Puskesmas, yang kemudian menjadi pembuka program kesehatan masyarakat desa dan upaya pendidikan kesehatan masyarakat secara luas. Dengan demikian masyarakat pedesaan akan mempunyai akses lebih dekat ke Pelayanan Kesehatan. Hal ini dianggap penting, karena sebagian besar masyarakat Indonesia ada di pedesaan, dan di masa lalu masyarakat desa kurang mendapat perhatian dalam pelayanan kesehatan.
Program pembangunan kesehatan untuk periode 10 tahun (1950-1960) telah digariskan dalam konperensi Kementerian Kesehatan tahun 1952 di Jakarta. Isi program mencakup kebijaksanaan umum dan khusus. Usaha kuratif dan preventif yang ditempuh sesuai dengan rumusan WHO mengenai kesehatan, yaitu: “a state of complete physical, mental and social well being, and not merely the absence of disease or infirmity”. Tujuan pemerintah adalah memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat Indonesia untuk meningkatkan derajat kesehatan bangsa Indonesia agar memiliki kemampuan kerja semaksimal mungkin.



Kesehatan Masyarakat Desa (KMD)

Pada sekitar tahun 1956, dibentuk Unit Kesehatan Masyarakat Desa dan Pendidikan Kesehatan Rakyat (KMD/PKR). Prof. Dr. dr. Sulianti Sarosa (alm), yang biasa disebut dengan ”dr Sul” ditetapkan sebagai pimpinan unit tersebut. Menurut beliau, titik berat usaha kesehatan masyarakat adalah pada usaha preventif. Namun istilah preventif ini masih kurang dipahami secara tepat oleh masyarakat, bahkan seringkali dikira bahwa usaha preventif hanya meliputi penerangan-penerangan kesehatan atau usaha imunisasi saja. Yang diharapkan dan dianggap penting oleh masyarakat adalah ’pengobatan’ atau usaha kuratif.
Sebenarnya yang dimaksud dengan usaha preventif adalah bahwa upaya kesehatan yang dijalankan tidak semata-mata untuk penyembuhan yang sakit, tetapi lebih pada upaya untuk mencegah timbulnya penyakit serta mempertinggi derajat kesehatan masyarakat (promotif). Hal ini berarti bahwa usaha-usaha pengobatan ringan perlu dilakukan agar penyakit tidak bertambah parah, juga termasuk pengobatan dalam rangka memberantas penyakit menular yang dilakukan secara sistematis.
Dr Sul selalu mengingatkan bahwa rangkaian usaha preventif inilah yang dimaksudkan dengan Public Health atau Usaha Kesehatan Masyarakat, yang dirumuskan oleh Prof. Winslow, dimana pemahaman definisinya divisualkan sebagai berikut :















PUBLIC HEALTH is THE SCIENCE and ART
OFTHROUGHFOR
  1. Preventing Disease

  2. Prolonging Life and

  3. Promoting Health

Organized
Community Effort
  1. The Sanitation of the Environment

  2. The Control of Communicable Disease

  3. The Education of the Individual in Personal Hygiene

  4. The Organization of Medical and Nursing Service for the Early Diagnosis and Preventive Treatment of Disease, and

  5. The Development of Social machinery to ensure everyone a standard of living adequate for maintenance of Health

So organizing these benefit as to enable every citizen to realize his birthright of health and longevity

Demikianlah dengan jelasnya bahwa dengan usaha kesehatan masyarakat setiap orang diberi kesempatan untuk mendapatkan ’hak’nya untuk hidup sehat dan umur panjang.
Mengenai upaya kesehatan yang harus dijalankan untuk mencapai tujuan tersebut diatas dr. Sul mengingatkan kembali skema yang menggambarkan riwayat penyakit dan tindakan yang dapat diambil sesuai dengan tahap-tahap perkembangan penyakit, yang disusun oleh Prof Leavell dari Harvard University dibawah ini :



Berdasarkan riwayat penyakit tersebut, maka usaha-usaha kesehatan preventif yang dapat dilakukan adalah :
  1. Pendidikan Kesehatan kepada Masyarakat (Health Education)

  2. Perbaikan Makanan Rakyat

  3. Perbaikan Hygiene lingkungan hidup

  4. Kesejahteraan Ibu dan Anak

  5. Dinas Kesehatan Sekolah

  6. Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (Public Health Nursing)

  7. Usaha Pengobatan

  8. Pemberantasan Penyakit endemis dan epidemis

  9. S t a t i s t i k

  10. Laboratorium Kesehatan

Lebih lanjut dr Sul menatakan bahwa tujuan Pendidikan Kesehatan kepada masyarakat adalah :



Pendidikan Kesehatan Rakyat (PKR) Model Lemah Abang

Berhubung pada waktu itu (dan juga sampai sekarang) sebagian besar penduduk hidup di pedesaan, maka usaha-usaha kesehatan terutama ditujukan kepada masyarakat desa, selain karena disebabkan usaha kesehatan belum merata sampai ke pelosok-pelosok. Konsep yang dianut oleh seluruh dunia ialah bahwa sebaiknya usaha-usaha kesehatan itu dijalankan secara terintegrasi dan koordinasi serta perlu mengikut sertakan masyarakat secara aktif pada penyelenggaraan usaha-usaha kesehatan tersebut. Untuk melaksanakan rencana kesehatan masyarakat tersebut maka Kementerian Kesehatan waktu itu, telah mengadakan percontohan didaerah Bandung yang disebut dengan Bandung Plan dan tepat dengan waktu dimulainya Program Nasional Pembangunan Masyarakat Desa dalam bulan Agustus 1956.
Percontohan Usaha Kesehatan Masyarakat Desa (KMD) dimulai dari Kabupaten Bekasi pada 1956. Di sini diadakan kursus-kusrsus atau latihan mengenai usaha KMD untuk segala jenis tenaga kesehatan dari seluruh Indonesia. Disamping KMD di Bekasi, di setiap propinsi juga diadakan daerah percontohan KMD untuk dijadikan tempat pelatihan bagi tenaga kesehatan setempat. Daerah-daerah percontohan lain adalah di : Bojongloa (Bandung), Sleman (Magelang), Godean (Yogjakarta), Mojosari (Surabaya), Metro (Lampung), Kasemen (Denpasar), Kotaraja (Banda Aceh), Indrapura (Medan), dan Barabai (Banjarmasin). Pada waktu itu tenaga-tenaga yang akan diterjunkan ke masyarakat dilatih dahulu secara intensif dalam suatu pelatihan atau kursus yang diberi nama Pendidikan Kesehatan pada Rakyat (PKR).
Khusus Daerah Percontohan KMD/PKR Kecamatan Lemah Abang, Bekasi, dipersiapkan sebagai Daerah pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam bidang Rural Health and Health Education. Tujuan diadakannya Daerah Percontohan KMD/PKR Lemah Abang adalah : “Menjadikan Daerah itu sebagai contoh sistem kerja dan pengelolaan program Kesehatan Masyarakat Desa, oleh suatu Tim Kesehatan Desa (Rural Health), dan juga sebagai daerah pelatihan lapangan (field training) tenaga-tenaga kesehatan (medis, para medis)”.
Tim KMD/PKR Lemah Abang terdiri dari petugas kesehatan yang bertugas sebagai full timer dan merupakan “administrative staff” dalam bidang-bidang :

  • Kuratif – dokter selaku pimpinan Tim, pimpinan proyek

  • Beberapa Penilik Kesehatan yang bertugas dalam : Public Health Administration dan Statistik, Hygiene dan Sanitasi Lingkungan

  • Gizi (Nutrition)

  • Public Health Nursing

  • Pendidikan Kesehatan (Health Education).

Selain dari itu ada tenaga-tenaga lapangan seperti bidan, pembantu bidan dan beberapa sanitarians.

Dapat dikemukakan bahwa Staf KMD/PKR secara keseluruhan, sebelum ditugaskan dalam pos masing-masing, baik di Dep.Kes. sebagai staf Bagian KMD/PKR, maupun di Lemah Abang, sebagai Team Staff lapangan, semua mendapat pendidikan dan pelatihan khusus di Luar Negeri dalam disiplin profesi masing-masing dalam konteks Kesehatan Masyarakat. Sekembali masing-masing ke tanahair, masih ada tahap pembinaan intensif dari Kepala Bagian KMD/PKR yaitu oleh Ibu Dr. J. Soelianti Saroso, mengenai program Rural Health, serta tentang cara dan mekanisme kerja dalam Tim. Staff Meeting dilakukan secara teratur (hampir setiap hari) di Bag. KMD/PKR, Dep.Kes., dengan penugasan-penugasan khusus, sebelum ke Lemah Abang. Dalam kesempatan pertemuan seperti ini laporan lisan tentang pelaksanaan tugas dan masalah-masalah juga dibicarakan bersama. Cara ini menimbulkan rasa kebersanaan, rasa tanggung-jawab bersama, rasa persaudaraan, lebih-lebih bagi mereka yang memang harus tinggal di Lemah Abang.
Beberapa hal yang dapat diutarakan sebagai pengalaman yang membantu dalam membentuk Tim KMD/PKR Lemah Abang yang solid dan handal a.l. adalah :
  • adanya organization and staff development planning yang solid (Tingkat Pusat)

  • Adanya well planned staff preparation, development, and placement (Tingkat Pusat)

  • Adanya regular Lemah Abang team staff meeting, dan keterbukaan (lokal), setiap hari Senin sebelum kelapangan.

  • Adanya technical supervision and guidance (dari Pusat-Bgn KMD/PKR)melalui berbagai jalur seperti :

    • Kunjungan lapangan ke desa-desa, dan dialog langsung dengan petugas lapangan dan PEMDA setempat.

    • Pertemuan/rapat dengan administrative Team staff Lemah Abang. Pertemuan seperti ini biasanya dihadiri pula oleh staff Bgn KMD/PKR dari berbagai displin dan bersifat edukatif.

  • Pertemuan non-formal (social gathering) yang sewaktu-waktu diselenggarakan Kepala Bagian KMD/PKR untuk seluruh staf, membantu menambah erat hubungan sosial antar-staf.

Pembentukan dan pengembangan Daerah Percontohan Lemah Abang mendapat bantuan tehnis dari badan Internasional, dengan penempatan Team Konsultan (full tmer) di lokasi untuk bidang-bidang : kuratif (dokter), Environment Sanitation, Public Health Nursing (semuanya dari US-AID) dan Health Education (dari WHO). Team consultant ini masing-masing didampingi oleh local national technical counterpart, sebagai Tim KMD/PKR. Untuk Public Health Administration & Statistics tidak ada consultant tehnisnya.
H.E. Consultant, Mr. Calhoun dalam masa penugasannya pernah mengadakan penulusuran jejak karya Hydrick di wilayah Banyumas yang didampingi Sdr. TarzanPanggabean Bsc, Penilik Kesehatan yang bertugas dibidang Health Education di lapangan. Keberadaan dan bantuan tehnis dari para konsultan Luar Negeri membantu upaya meningkatkan mutu kinerja local national staff. Transfer of knowledge and technology tentang cara kerja dalam Team, penggunaan alat-alat bantu dalam melaksanakan Pendidikan Kesehatan kepada masyarakat, cara-cara pendekatan masyarakat dsb. adalah hal yang dialami langsung, di diskusikan dan di analisa bersama. Dengan cara “learning by doing”, maka pemahaman dan penghayatan tentang Health Education in rural areas dan role of Health Educator as a member of a Rural Health Team, dapat secara langsung diterapkan. Masing-masing counterpart mampu menampung, menyaring, memilih, mengolah, meresapkan dan memanfaatkan masukan-masukan yang diperoleh dari konsultan-konsultan asing dalam upaya memperkuat dan meningkatkan mutu profesinya dalam rangka pengembangan program KMD/PKR.
Tidak dapat disangkal kebenarannya bahwa kehidupan Tim yang cukup dinamis ini, diliputi juga oleh adanya “nuansa dominasi profesional”. Ini dapat menimbulkan arus ketegangan dikalangan Tim, dan merusak “Team Spirit”, jika kesadaran para anggota Tim akan makna pentingnya keberadaan Daerah Percontohan ini tidak kuat, dan roda kepemimpinannya lemah. Dominasi profesional juga dapat diamati dikalangan foreign consultants. Jika local administrative staff sebagai technical counterpart terpengaruh, maka hal ini dapat membahayakan hubungan sosial antar-staf dan pada akhirnya membuyarkan fungsi Tim. Selain dominasi professional, maka sikap perilaku yang dapat juga melemahkan fungsi Tim ialah adanya “individual vested interest” anggota Tim, yang dapat memicu timbulnya sikap kecurigaan antar-disiplin. Disinilah diperlukan adanya leadership yang objektif, kuat dan mampu menjaga keseimbangan hubungan sosial antar-disiplin, intra-disiplin dan intra-Team. Jika local conflicting situation and conflicting interest tidak dapat teratasi setempat, maka posisi kepemimpinan untuk memecahkan masalah, diangkat ke tingkat Departemen(Pusat), yaitu oleh Bagian KMD/PKR.

Peranan Health Education Staff

Sebagaimana halnya tujuan Pendidikan pada umumnya, yaitu menjadikan orang itu dewasa, memiliki tanggung-jawab untuk diri sendiri dan lingkungan sosialnya, serta mampu mengambil keputusan yang bijaksana, maka Health Education sebagai proses yang terarah, menjadikan orang itu “dewasa”, mampu meningkatkan taraf kesehatan diri sendiri, keluarga dan lingkungannya atas kesadaran diri tentang pentingnya kesehatan dan melaksanakan pola hidup sehat atas upaya dan kekuatannya sendiri.
Health Education “mengolah” pola pikir orang, agar ia dapat berpikir rasional, objektif , mampu secara sadar mewujudkan pengetahuan tentang kesehatan kedalam kehidupan sehari-hari, bahkan dapat mentransfer pengetahuannya juga kepada orang lain. Para pertugas kesehatan di lapangan dibina sedemikian rupa, agar mampu mengembangkan “critical mind”-nya. Adakalanya penerapannya dirasakan sebagai “mengganggu” disiplin kesehatan lainnya. Ini kemudian dapat meninbulkan social conflicts dalam Team.
Conflicting ideas, opnion, interest, dalam suatu Tim, selalu dapat terjadi, namun yang perlu diperhatikan ialah bawa hal ini merupakan “ingredients” dalam kehidupan Tim, yang dapat menambah ke-matangan dan kedewasaan team sebagai suatu Kelompok yang anggota-anggotanya bervariasi. Penting dalam hal ini adalah adanya “team spirit”, dan sikap toleransi, objektif dalam melihat atau menanggapi masalah, peka terhadap kondisi lingkungan, dan responsive serta kreatif dalam mencari penyelesaian yang dapat memberikan rasa puas bagi seluruh anggota Tim.
Pengalaman sebagai “grassroot level worker” dan sebagai anggota Rural Health & Health Education Team, telah menempa spiritual maturity, dan lebih peka terhadap kemungkinan timbulnya benturan antar-anggota Tim. Dalam menghadapi foreign consultants, maka kita perlu memperkuat posisi kita sebagai nasional counterpart, dengan lebih memperhatikan kepentingan program nasional. Sedapat mungkin dapat mengendalikan pemikiran-pemikiran yang sekiranya dapat menghambat atau mengalihkan arus dan arah perkembangan program.
Dapat dikemukakan bahwa sasaran Health Education bukan hanya masyarakat saja, tetapi juga para petugas kesehatan. Tujuan tentu berbeda. Bagi masyarakat, diharapkan agar mereka sadar akan pentingnya kesehatan bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat lingkungannya, dan bagi Petugas kesehatan, agar mereka juga dapat menjadi panutan dalam cara hidup sehat, serta mampu menggunakan tehnologi Health Education dalam melaksanakan tugasnya, yang dilaksanakan sedemikian rupa, hingga masyarakat yang menjadi sasarannya menjadikan cara hidup bersih dan sehat sebagai pola hidupnya sehari-hari.
Pengalaman di Lemah Abang memberikan pelajaran bahwa perubahan sikap perilaku kesehatan yang diharapkan meskipun hanya dalam lingkup seluas Keacamatan saja, ternyata memerlukan tindakan-tindakan di tingkat adminsitratif dan sosial yang lebih tinggi. Untuk itu diperlukan tenaga khusus untuk menanganinya secara professional. Pengalaman dan pengamatan menunjukkan bahwa sebagai “health educator” dalam Tim, ia dapat menjadi “Mediator” dalam menghadapi situasi konflik yang terjadi dalam Tim serta dapat membangun “networking” antar berbagai program/unit kerja. Singkatnya ia dapat berperan sebagai ”catalyst” dalam upaya mengadakan perubahan, yang memadukan pendidikan kesehatan dengan program serta dengan melibatkan peran aktif masyarakat.
Pengalaman di Lemah Abang juga menunjukkan, sebagaimana jargon dikutip di awal bab ini, bahwa :“Health education alone is nothing. Health education with program is something. Health education with program and community is everything”.






ERA PENDIDIKAN DAN PENYULUHAN KESEHATAN
(Kurun Waktu 1960-1980)



Istilah Pendidikan Kesehatan dan UU Kesehatan 1960

Dr. J. Leimena, selaku Menteri Kesehatan menyampaikan kepada Presiden Sukarno, Presiden I RI, pada tahun 1955 (dalam buku Kesehatan Rakyat di Indonesia, Pandangan dan Planning), bahwa merajalelanya berbagai penyakit di Indonesia pada saat itu adalah karena kurang baiknya keadaan hygiene lingkungan di Indonesia. Hal ini disebabkan antara lain karena kurangnya pengertian masyarakat tentang hygiene perseorangan dan hygiene umum. Oleh karena itu maka Pendidikan Kesehatan kepada Rakyat adalah suatu soal yang penting di Indonesia.
Dalam kaitan itu beliau juga menyatakan bahwa pada umumnya semua usaha di lapangan kesehatan masyarakat tidak akan berhasil jika masyarakat tidak diberikan pendidikan dan penerangan yang sebaik-baiknya tentang masalah itu. ”The public health administration can achieve no solid, durable and effective result unless the public is given Health Education”. Mengenai pentingnya pendidikan kesehatan ini juga dapat dilihat pada Undang-undang No. 9 Ytahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan.
Paling tidak ada dua hal penting dalam Undang-undang tersebut yang perlu dikemukakan dan dijadikan landasan dalam penyelenggaraan Pendidikan Kesehatan Masyarakat yaitu :

  • Pasal 1, yang menyatakan bahwa Tiap-tiap warganegara berhak memperoleh derajat kesehatan setinggi-tingginya dan perlu diikut sertakan dalam usaha-usaha Kesehatan Pemerintah.

  • Pasal 4, yang menetapkan Tugas Pemerintah untuk memelihara dan mempertinggi derajat kesehatan rakyat dengan menyelenggarakan dan menggiatkan usaha-usaha dalam lapangan......... butir c. Penerangan dan Pendidikan Kesehatan Rakyat......dst


Dengan demikian pada saat itu, istilah Pendidikan Kesehatan telah dipergunakan secara resmi.

Tentang apa yang disebut dengan Pendidikan Kesehatan (Health Education) banyak ahli memberikan definisi (seperti: Dorothy Neswander, Guy Steuart, Paul Mico, Helen Ross, Iwan Sutjahja, dll). Dari berbagai definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan kesehatan merupakan upaya yang ditekankan pada terjadinya perubahan perilaku, baik pada individu maupun masyarakat. Bahkan dalam salah satu jargonnya, yang bermula dari Ruskin sebagaimana dikutip di awal bab ini, ditegaskan bahwa fokus Health Education adalah pada perubahan perilaku itu, bukan hanya pada peningkatan pengetahuan saja. Oleh karena itu area Pendidikan Kesehatan adalah pada Knowledge (Pengetahuan), Attitude (Sikap) dan Practice (Perilaku), yang disingkat menjadi K.A.P.
Mengenai metode yang dipergunakan dalam pendidikan kesehatan dapat bervariasi, sesuai dengan keadaan, masalah dan potensi setempat. Namun metode tersebut harus dikembangkan : dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat.

Penetapan Hari Kesehatan Nasional

Pada sekitar tahun 1960-an malaria merupakan salah satu penyakit rakyat yang berkembang dengan subur. Ratusan ribu jiwa mati akibat malaria. Berdasarkan penyelidikan dan pengalaman, sebenarnya penyakit malaria di Indonesia dapat dilenyapkan. Untuk itu cara kerja harus dirubah dan diperbarui. Maka pada September 1959 dibentuk Dinas Pembasmian Malaria (DPM) yang kemudian pada Januari 1963 dirubah menjadi Komando Operasi Pembasmian Malaria (KOPEM). Pembasmian malaria tersebut ditangani secara serius oleh pemerintah dengan dibantu oleh USAID dan WHO. Direncanakan bahwa pada tahun 1970 malaria hilang dari bumi Indonesia.
Pada akhir tahun 1963, dalam rangka pembasmian malaria dengan racun serangga DDT, telah dijalankan penyemprotan rumah-rumah di seluruh Jawa, Bali dan Lampung, sehingga l.k. 64,5 juta penduduk telah mendapat perlindungan dari kemungkinan serangan malaria. Usaha itu juga dilanjutkan dengan nusaha surveilans yang berhasil menurunkan ”parasite index” dengan cepat, yaitu dari 15 % menjadi hanya 2%.
Pada saat itulah, tepatnya pada tanggal 12 November 1964, peristiwa penyemprotan nyamuk malaria secara simbolis dilakukan oleh Bung Karno selaku Presiden RI di desa Kalasan, sekitar 10 km di sebelah timur kota Yogyakarta. Meskipun peristiwanya sendiri merupakan upacara simbolis penyemprotan nyamuk, tetapi kegiatan tersebut harus dibarengi dengan kegiatan pendidikan atau penyuluhan kepada masyarakat. Peristiwa itu kemudian dikenal sebagai Hari Kesehatan Nasional (HKN), yang setiap tahun terus menerus diperingati sampai sekarang. Sejak itu, HKN dijadikan momentum untuk melakukan pendidikan/penyuluhan kesehatan kepada masyarakat.
Tetapi pemberantasan malaria dengan cara penyemprotan tersebut ternyata tidak dapat diteruskan karena tiadanya biaya. Bantuan dari USAID dan WHO berhenti. Juga karena adanya pemberontakan G30S/PKI pada tahun 1965.



Bagian Pendidikan Kesehatan Masyarakat

Pada tahun 1967, Prof. Dr. GA Siwabessy, selaku Menteri Kesehatan, dengan Surat Keputusan No. 091/III/Ad.Um/’67, telah menetapkan Susunan Organisasi Departemen Kesehatan. Dalam struktur organisasi tersebut antara lain ditetapkan bahwa unit yang melaksanakan tugas pendidikan kesehatan adalah Bagian Pendidikan Kesehatan Masyarakat (Bagian PKM) yang berada di Biro Pendidikan, Sekretariat Jenderal. Kalau di era sebelumnya Bagian Pendidikan Kesehatan kepada Rakyat berada langsung dan bertanggung jawab kepada Menteri (yang mungkin dapat disebut setara dengan eselon I), maka dengan SK Menkes 1967 tersebut posisi Bagian Pendidikan Kesehatan Masyarakat berada di bawah Kepala Biro, dan ditetapkan dalam jabatan eselon III, meskipun beban kerja Pendidikan Kesehatan tetap dan bahkan makin besar.
Meskipun hanya eselon III tetapi unit ini mempunyai jaringan yang cukup kuat dengan WHO. Demikianlah misalnya pada bulan November 1967, di New Delhi, India, diselenggarakan Inter-Country Workshop on The Methodology of Planning, Implementation and Evaluation of Health Education. Pada waktu itu Indonesia mengirimkan wakilnya yaitu : (1) Prof. Dr. I.M. Bagiastra (alm), saat itu sebagai Dekan FKM-UI; (2) dr. Wirjawan Djojosugito (alm), saat itu Kepala Biro V/Pendidikan; dan (3) Drs. Koento Hidajat (alm), saat itu sebagai Kepala Bagian PKM. Hasil workshop tersebut, di antaranya adalah keharusan berintegrasinya kegiatan Pendidikan Kesehatan dalam setiap program kesehatan baik dalam perencanaan, pelaksanaan (implementasi) maupun penilaian.
Selanjutnya pada bulan Agustus 1968, Bagian PKM menyelenggarakan Workshop tentang Approach Edukatip dalam Perencanaan dan Penyelenggaraan Program-Program Kesehatan Masyarakat, yang merupakan tindak lanjut dari Rapat Kerja Nasional bulan April 1968. Salah satu keputusan Raker adalah dinyatakannya ”Pendidikan Kesehatan” sebagai usaha utama dan mutlak, kalau rencana Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) hendak direalisasikan.
Beberapa rekomendasi penting dari workshop ini antara lain :

  1. Fungsi dan Peran PKM baik di tingkat Pusat, Propinsi maupun Kabupaten:
    Yaitu bahwa Fungsi Bagian PKM di Pusat antara lain adalah Bimbingan Konsepsionil, Bimbingan Tehnis dan Penyaluran Bantuan Materiil

  2. Struktur Organisasi:
    Diusulkan kedudukan Bagian PKM ditingkatkan menjadi Biro karena merupakan salah satu tugas pokok Departemen (Basic Six)

  3. Untuk pembiayaan, diusulkan ada anggaran khusus untuk Pendidikan Kesehatan Masyarakat baik di tingkat Pusat, Propinsi maupun Kabupaten.

  4. Diusulkan pengembangan staff yang qualified, antara lain pendidikan Health Education Specialist

  5. Bentuk terintegrasinya kegiatan PKM dalam setiap Program

Pendidikan Health Education Specialist

Pada sekitar tahun 1967-1968, semakin disadari bahwa masalah kesehatan tidak dapat diatasi melalui disiplin ilmu kedokteran saja, tetapi juga perlu menggunakan ilmu sosial. Itu disebabkan karena masalah kesehatan banyak terkait dengan masalah sosial, khususnya perilaku masyarakat. Untuk itu dipikirkan tentang perlunya tenaga khusus pendidikan kesehatan masyarakat tingkat sepesialis, yang memahami persoalan sosial kemasyarakatan. Hal itu telah dibawa dan dibahas di dalam Rakerkesnas 1968, dan disepakati perlunya pengembangan tenaga spesialis bidang pendidikan kesehatan masyarakat.
Maka diadakanlah proyek khusus Pengadaan Tenaga Health Education Specialist ini. Kegiatan ini mendapat bantuan dana dan konsultan dari WHO dan USAID, dan proyeknya bernama: Health Education Manpower Development Project. Konseptor dari proyek ini adalah Dr. Wiryawan Djojosoegito, Kepala Biro Pendidikan waktu itu dengan dibantu khususnya Drs. Koento Hidayat dan Dra. Koesnaniyah Wiryomihardjo.
Selaku Pimpinan proyek ditetapkan: Dr. Soeharto Wiryowidagdo. Tujuan proyek adalah pengadaan sekitar 60 orang HES (Health Education Specialist) dan memperkuat Fakultas Kesehatan Masyarakat khususnya di Universitas Indonesia, yang nantinya diharapkan mampu menyelenggarakan pendidikan tenaga HES tersebut di dalam negeri.
Proyek ini mulai berjalan pada tahun 1971 dengan merekrut para sarjana dari berbagai disiplin. Selain dokter dan dokter gigi, juga sarjana pendidikan, sarjana ekonomi, sarjana hukum, sosiologi, antropologi, dll. Angkatan I dan II dari proyek tersebut dididik di dalam dan luar negeri (USA). Sedangkan angkatan III dan IV dididik di dalam negeri (FKM UI). Khusus Angkatan I dan II, sebelum mereka belajar di USA terlebih dahulu mereka mengikuti Basic Orientation Course (BOC) dan Work Experience (Pengalaman Kerja Lapangan) in Health Education. Sedangkan angkatan III dan IV pengalaman lapangan dilakukan di belakang, setelah pendidikan di FKM UI selesai. Cerita lebih lanjut tentang proyek dan tenaga ini dapat dibaca di bab VII.
Sementara itu kegiatan pendidikan kesehatan masyarakat di daerah tetap berjalan. Kegiatan KMD/PKR atau ”community development in health” di beberapa daerah berjalan cukup baik. Hal itu memang banyak dipengaruhi oleh adanya tenaga atau tokoh yang kreatif. Misalnya di Jawa Timur, ada Drs. Yusworo, yang pada waktu itu menjadi Kepala Unit Pendidikan Kesehatan Masyarakat di sana. Perlu pula disampaikan bahwa ada beberapa orang yang sebelumnya juga dikirim untuk memperoleh pendidikan atau pelatihan di luar negeri. Mereka itu ada yang dikirim ke USA, Libanon, India, dll. Mereka bersama tenaga-tenaga lainnya yang terus menerus menggerakkan kegiatan Pendidikan Kesehatan Masyarakat di Indonesia pada waktu itu.



Dari Pendidikan ke Penyuluhan

Pada tahun 1975, Struktur Bagian PKM berubah, dari eselon III menjadi eselon II, tetapi tidak sebagai Biro, melainkan sebagai salah satu direktorat pada Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat (Ditjen Binkesmas). Yang berubah ternyata tidak hanya eselonnya, tetapi juga istilah (nomenklatur).
Pada waktu itu ada kebijakan Pemerintah dalam penggunaan nomenklatur (istilah/nama institusi), yaitu bahwa istilah Pendidikan hanya boleh dipergunakan di lingkungan Departemen Pendidikan Nasional. Sedangkan di luar Depdiknas, nomenklatur Pendidikan Kesehatan yang dipergunakan adalah Penyuluhan Kesehatan. Dengan demikian maka Direktorat baru yang menangani masalah Pendidikan Kesehatan diberi nama Direktorat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, dengan Kepala Direktoratnya adalah dr Pudjiastuti Pranjoto, MPH (alm). Dengan dibentuknya Direktorat PKM ini, bahkan kantorpun juga mengalami perpindahan. Kalau sebelumnya bermarkas di Hang Jebat, maka Direktorat PKM me nempati sayap kanan gedung Departemen Kesehatan, lantai 2, di Jl Prapatan 10.
Sedangkan pengertian atau konsep Penyuluhan Kesehatan Masyarakat sebenarnya tidak berbeda dengan Pendidikan Kesehatan. Dalam hal ini, Penyuluhan Kesehatan Masyarakat diberi pengertian sebagai ”suatu proses perubahan, pertumbuhan dan perkembangan diri manusia menuju kepada keselarasan dan keseimbangan jasmani, rohani dan sosial dari manusia tersebut terhadap lingkungannya, sehingga mampu dan bertanggung jawab untuk mengatasi masalah-masalah kesehatannya sendiri serta masyarakat lingkungannya” (Direktorat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, Ditjen Binkesmas Depkes, 1976). Tujuan penyuluhan kesehatan masyarakat ini adalah agar: (a) Kesehatan dianggap sebagai hal yang penting dan diberi nilai tinggi oleh masyarakat; (b) Masyarakat melakukan tindakan yang perlu untuk mencapai kesehatan diri dan lingkungannya; (c) Masyarakat berusaha membantu dan mengembangkan serta memanfaatkan fasilitas kesehatan yang tersedia untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal.



DKI PKM

Salah satu kegiatan yang menonjol pada era penyuluhan kesehatan ini adalah adanya Daerah Kerja Intensif Penyuluhan Kesehatan Masyarakat (disingkat DKI PKM) yang mula-mula muncul awal tahun 1970-an. Ini berawal dari pengalaman kerja lapangan (field work experience) para ”Student Health Education Specialist” (calon Tenaga Ahli Pendidikan Kesehatan Masyarakat) di Bandung. Sebelum tugas belajar di Amerika, mereka diterjunkan di berbagai kecamatan di daerah kabupaten dan kota Bandung. Selama di lapangan ini mereka mengembangkan daerah kerja percontohan (demonstration area) pendidikan kesehatan masyarakat, yaitu suatu daerah yang masyarakatnya berperan aktif dalam pembangunan kesehatan. Mereka belajar teori dalam kelas dengan bimbingan konsultan WHO (Dr. CH Pyaratna) dan USAID (Mr. John Nelson) yang dibantu oleh dua orang supervisor Indonesia, yaitu Bapak Drs. Putulawa Udayana dan Bapak Dr. I.B. Mantra. Teori-teori dari dalam klas tersebut dicoba dipraktekkan di lapangan, secara langkah demi langkah, dalam nrangka pembinaan masyarakat, yang dilakukan bersama staf Puskesmas dan Kecamatan. Selama sekitar setahun mereka bolak balik antara kelas dan lapangan ini.
Setelah mereka kembali belajar dari Amerika, mereka ditempatkan di pusat dan daerah. Bertolak dari pengalaman Bandung yang dipadukan dengan pengalaman-pengalaman sebelumnya maka dikembangkanlah Daerah Kerja Intensif Penyuluhan Kesehatan Masyarakat (DKI PKM) yang langsung dikoordinasikan oleh Direktorat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, d.h.i. Sub Direktorat Pengembangan Metoda dan Tehnik yang dipimpin oleh Dr. IB Mantra, mantan supervisor program kerja lapangan (work experience) HES di Bandung. Sesuatu yang khas dari DKI PKM ini adalah pendekatannya yang benar-benar melibatkan peranserta masyarakat, bahkan berupaya untuk memberdayakan masyarakat. Pendekatan ini kemudian hari disebut dengan pendekatan edukatif.
Dalam rangka penyelenggaraan DKI PKM itu diselenggarakanlah pelatihan PKM bagi petugas daerah, yang lamanya 3 bulan. Pesertanya adalah Koordinator PKM Kabupaten. Mereka itu pada umumnya lulusan D3 Sanitasi atau D3 Perawatan. Kurikulum dan prosesnya mirip BOC dan Work Experience Bandung, hanya waktunya dipersingkat. Pelatihan ini diselenggarakan beberapa angkatan, tetapi kemudian waktunya dipersingkat lagi menjadi 4 minggu.
Pada tahap awal DKI ini dikembangkan pada 4 provinsi, yaitu: Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Ternyata keberhasilan pengembangan DKI pada 4 propinsi telah melebar ke provinsi lainnya. Tidak jarang dari kegiatan pengembangan DKI ini muncul petugas kesehatan teladan yang pada waktu itu penyelenggaraannya dilakukan oleh pemerintah secara berkala. DKI PKM juga banyak menghasilkan kegiatan masyarakat dalam bidang kesehatan, yang pada umumnya terkait dengan masalah kebersihan lingkungan, penyediaan air bersih, perbaikan rumah tempat tinggal, dll. DKI PKM inilah yang kemudian berkembang menjadi kegiatan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD).
Salah satu kelemahan dari pengembangan DKI PKM ini adalah sistem pencatatan dan pendokumentasian kegiatan yang belum dilakukan secara benar, sehingga tidak dapat dikemukakan secara kuantitatif, baik yang berkaitan dengan jenis kegiatan masyarakat, tenaga masyarakat yang berhasil dilatih, media yang diterbitkan, dana, dll. Tetapi kelemahan yang utama adalah karena proses pendekatan yang bersifat sektoral. Keterlibatan lintas sektoral bahkan lintas program sangat kurang, baik dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, penilaian maupun di tahap pengembangan. Hal ini menyebabkan sulitnya diperoleh dukungan dari lintas program dan lintas sektor, dan sekaligus merupakan salah satu faktor penting tidak populernya DKI PKM.
Pengembangan DKI PKM ini tenggelam karena program kesehatan lain juga mengembangkan pendekatan yang serupa di lapangan, yang kemudian nanti dikenal dengan kegiatan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (disingkat PKMD) dan Posyandu.



Pendekatan Edukatif

Pendekatan edukatif yang merupakan pendekatan yang dipergunakan dalam DKI PKM (juga kemudian dalam PKMD), adalah serangkaian kegiatan untuk membantu masyarakat: mengenali dan menemukan masalah mereka sendiri, dan kemudian atas dasar rumusan masalah kesehatan yang telah mereka sepakati dikembangkanlah rencana penanggulangannya. Tujuan utama pendekatan edukatif adalah untuk mengembangkan kemampuan masyarkat sehingga masyarakat yang bersangkutan dapat memcahkan masalah yang dihadapi atas dasar swadaya sebatas kemampuan mereka. Untuk mencapai tujuan tersebut, strategi dasar yang ditempuh adalah mengembangkan provider dan masyarakat.
Yang dimaksud dengan provider adalah para petugas yang peduli terhadap kesehatan, utamanya petugas kesehaan yang terlibat langsung dengan masalah kesehatan masyarakat. Pengembangan provider ini bertujuan agar mereka mempunyai persamaan pandangan atau sikap positif terhadap kesehatan dan pendekatan edukatif. Secara lebih rinci pengembangan provider ini diharapkan akan menciptakan suatu kerja sama lintas sektor yang terkoordinir.
Untuk itu perlu diperhatikan, antara lain: (a) Adanya keterbukaan dan komunikasi; (b) Adanya wadah, yaitu yang telah ada di masyarakat setempat, misalnya: PKMD, LSD (lembaga sosial desa), atau BPGD (Badan Perbaikan Gizi Daerah, now(), now()); (c) Program yang saling menunjang, yaitu program kesehatan dan program sektor lainnya, dengan saling menghormati kewenangan masing-masing sektor; (d) Peran yang jelas dari masing-masing pihak; (e) Adanya kepusan atau keberhasilan bersama dari semua pihak yang terlibat; serta (f) Adanya perencanaan terpadu dari semua sektor.
Dalam rangka mewujudkan kerjasama antar provider, dilakukan langkah-langkah:

  1. Pendekatan terhadap para penjabat penentu kebijakan:
    Para penjabat lintas sektor baik tingkat pusat, daerah dan lokal, terutama pejabat pemerintahan (gubernur, bupati, camat, dsb) adalah merupakan kunci kerja sama. Oleh sebabab itu dalam menggalang kerjasama dalam rangka pendekatan edukatif ini, harus dilakukan pendekatan terhadap mereka ini. Tujuan pendekatan kepada para penjabat ini adalah untuk memperoleh dukungan politis. Dalam perkembangan selanjutnya pendekatan semacam ini disebut ”advocacy”.

  2. Pendekatan terhadap para pelaksana dari berbagai sektor dan tingkat:
    Pendekatan ini bertujuan agar para pelaksanan dilapangan dari berbagai sektor memperoleh pemahaman yang sama terhadap program atau pendekatan yang akan dilakukan. Pendekatan ini dapat dilakukan baik secara horisontal (antar sektor pada tingkat sektor yang sama), maupun secara vertikal, antara sektor yang sama di tingkat administrasi yang berbeda (diatas atau dibawahnya).

  3. Pengumpulan data oleh provider tingkat kecamatan:
    Data adalah fakta empiris dari lapangan atau masyarakat, dan merupkan bukti bahwa masalah memang ada di masyarakat secara riil (faktual). Dari data inilah masalah ada, dan dari masalah inilah program atau kegiatan akan dimulai, karena program merupakan upaya pemecahan masalah. Oleh sebab itu, para petugas atau provider harus mengumpulkan sendiri data dan memahaminya sendiri. Manfaat data bagi provider disamping untuk mengenal masalah yang ada di masyarakat, juga merupakan pembanding (data awal) yang dapat digunakan untuk mengevaluasi hasil kegiatan. Jenis data yang diperlukan antara lain: (i) Data umum, yakni data tentang kondisi geografi wilayah, demografi, pemuka masyarakat, media komunikasi yang ada, sejenisnya, dan sebagainya; (ii) Data khusus, yakni data dari masing-masing sektor, antara lain: data pertanian, pendidikan, kesehatan (jamban keluarga, sumber air bersih, saluran air limbah, tempat pembuangan sampah, status gizi anak balita, dan sebaginya, now(), now()); (iii) Data perilaku, khususnya perilaku yang berkaitan dengan kesehatan, misalnya: kebaiasaan buang air besar, kebiasan mandi, kebiasaan makan, perilaku pencegahan penyakit, dan sebagainya.


Sedangkan pengembangan masyarakat pada hakekatnya adalah upaya menghidupkan atau menggali potensi masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya upaya ini disebut pemberdayaan masyarakat (community empowerment). Adapun langkah-langkah pengembangan masyarakat adalah sebagai berikut:
  1. Pendekatan tingkat desa:
    Sasaran pendekatan ini adalah adalah para tokoh-tokoh masyarakat tingkat desa, utamanya kepala desa. Tujuan pendekatan ini adalah agar mereka memperoleh pemahaman tentang program, dan akhirnya mendukung program tersebut. Agar memperoleh kepercayaan mereka, maka sebaiknya pendekatan ini dilakukan oleh Kepala Puskesmas bersama-sama dengan Camat setempat. Akan lebih baik lagi kalau dilakukan oleh tim Kecamatan yang terdiri dari penjabat lintas sektor tingkat kecamatan yang dipimpin oleh Camat. Pelaksanaan pendekatan ini dianjurkan diadakan dalam bentuk pertemuan tingkat desa (kelurahan) yang dihadiri oleh kepala desa dan stafnya, anggota-anggota Lembaga Sosial Desa dan tokoh-tokoh masyarakat setempat lainnya. Dalam pertemuan ini tim dari kecamatan menjelaskan tentang Pengertian pendekatan edukatif serta langkah-langkah selanjutnya yang perlu dilakukan dalam pengembangan masyarakat.

  2. Survai Mawas Diri (community self survey):
    Survai Mawas Diri atau Community self survey (CSS) ini merupakan pengenalan lingkungan sendiri, termasuk masalah yang ada di masyarakat, oleh mereka sendiri. CSS tidak terlepas dari kegiatan pengumpulan data oleh mereka sendiri untuk mengenal lebih baik tentang dirinya (masyarakat) sendiri. Meskipun petugas (tim) kecematan atau provider telah mempunyai data tentang masyarakat tersebut, tetapi data tersebut dilihat dari kaca mata provider, yang mungkin agak berbeda dengan yang dilihat atau gambaran dari masyarakat sendiri.
    Dengan cara ini maka program akan benar-benar dikembangkan bertolak dari kebutuhan dan masalah yang ditemukan sendiri atau oleh masyarakat sendiri, bukan menurut perkiraan provider. Kegiatan pokok CSS terdiri dari: Orientasi dan latihan; Pengumpulan data; Pengolahan dan analisis data; serta Penyajian data.

  3. Musyawarah Masyarakat Desa (MMD)
    Penyajian data (hasil CSS) diusahakan oleh atau setidaknya di hadapan para tokoh masyarakat desa agar diperoleh kesepakatan tentang: Masalah yang dirasakan oleh masyarakat, Prioritas masalah, yaitu masalah yang dianggap perlu dan segera dipecahkan; serta kesediaan masyarakat untuk ikut berperan sertan secara aktif dalam usaha pemecahan masalah tersebut. Hal itu dibicarakan dalam suatu forum yang disebut Musyawarah Masyarakat Desa (MMD).

  4. Perencanaan:
    Setelah kesepakatan seperti tersebut diatas tercapai, tim pembangunan desa yang bersangkutan, dibawah bimbingan tim dari kecamatan atau Puskesmas, menyusun rencana pemecahan masalah, yang mencakup antara lain: Program pemecahan masalah, sesuai dengan prioritas masalah yang telah ditentukan sebelumnya, tujuan dan sasaran program (tujuan umum dan khusus), kegiatan yang akan dilakukan, termasuk Rencana anggaran dan biaya, serta sumber dananya.

  5. Pelaksanaan:
    Hal yang penting dalam tahap pelaksanaan adalah mempersiapkan tenaga-tenaga pelaksana, termasuk penanggung jawaban pelaksana program.

  6. Penilaian:
    Pada waktu pelaksanaan program diperlukan pengawasan, monitoring sampai dengan evaluasi terhadap program atau kegiatan-kegiatan tersebut. Monitoring dan evaluasi program bukan sekedar apakah kegiatan-kegiatan telah berjalan sesuai dengan perencanaannya, tetapi juga apakah program mempunyai dampak terhadap penurunan atau hilangnya masalah. Dengan perkataan lain, apakah program tersebut mempunyai pengaruh terhadap peningkatan kesehatan msyarakat.

”Pendekatan Edukatif” ini sangat membantu petugas kesehatan di Puskesmas, khususnya dokter-dokter baru Puskesmas, yang menurut pengakuannya kurang sekali memperoleh pengetahuan tentang itu waktu di Fakultas Kedokteran. Pendekatan edukatif itu semula dipergunakan dalam pengembangan DKI PKM. Kemudian, pada Rapat Kerja Pelaksanaan PKMD di Jakarta tanggal 27-30 Nopember 1978, oleh Dr. IB Mantra diusulkan untuk menjadi pendekatan yang dipergunakan dalam Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (disingkat PKMD).

Berbagai kegiatan penyuluhan kesehatan

Selain mengembangkan DKI PKM dengan menggunakan pendekatan edukatif, Pusat PKM juga melakukan penyuluhan berbagai program kesehatan melalui berbagai kegiatan. Penyuluhan langsung melalui media dilakukan melalui televisi dan radio, baik secara nasional maupun secara lokal di Daerah. Setiap tahun PKM juga selalu memproduksi berbagai leaflet, poster, radio spot, TV spot, kalender, dll yang berisi pesan-pesan kesehatan. Berbagai pameran kesehatan juga digelar, khususnya dalam memperingati hari-hari tertentu, seperti: Hari Kesehatan Nasional, Hari Kesehatan Sedunia, Hari Tanpa Rokok Sedunia, dll. Dalam rangka memperingati berbagai hari tertentu itu, PKM lah yang paling sibuk dalam penyelenggaraannya, sekaligus memanfaatkan momentum hari-hari itu untuk melakukan penyuluhan kesehatan.
Selanjutnya berbagai pedoman, manual, dll juga diterbitkan, sebagai panduan bagi daerah atau program untuk melakukan penyuluhan kesehatan. Pelatihan-pelatihan bagi tenaga PKM daerah dan organisasi kemasyarakatan juga sering diselenggarakan, baik mengenai ke-PKM-an pada umumnya maupun mengenai metode dan tehnik tertentu, khususnya dalam pengembangan media penyuluhan. Kerjasama dengan lintas sektor, lintas program dan organisasi kemasyarakatan dijalin dalam rangka pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan.
Dalam perkembangannya nanti, PKM juga sangat berperan dalam menggerakkan PKMD dan Posyandu, serta berbagai kegiatan lainnya yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan. Itu semua dilakukan dalam rangka menunjang terjadinya perubahan perilaku yang sehat di masyarakat. Perubahan perilaku itulah yang menjadi fokus kegiatan PKM, sebagaimana salah satu jargon yang dikutip pada awal bab ini (yang berasal dari Ruskin), bahwa: ”Education is not for knowing more, but for behaving differently”.






ERA PKMD, POSYANDU DAN
PENYULUHAN KESEHATAN MELALUI MEDIA ELEKTRONIK
(Kurun Waktu 1975 - 1995)




Peran Serta Dan Pemberdayaan Masyarakat Bidang Kesehatan

Sebelum cerita tentang Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) kiranya perlu cerita sedikit tentang peranserta masyarakat yang merupakan komponen utama dalam PKMD. Perlunya peranserta masyarakat dalam pembangunan, termasuk di bidang kesehatan, didasarkan pada kesadaran bahwa tidak mungkin pembangunan hanya dilakukan dan ditanggung oleh pemerintah saja. Masyarakat harus diikut sertakan dan berperanserta di dalamnya. Masyarakat bukan hanya sebagai obyek, tetapi juga sebagai subyek pembangunan. Hal ini sejak awal sudah merupakan konsep dasar pendidikan atau penyuluhan kesehatan, yang sudah dilaksanakan sejak sebelum dan di awal kemerdekaan.
Banyak batasan pengertian tentang peran serta masyarakat. Berdasarkan pertemuan Alma Ata (1978), WHO memberi rumusan tentang peran serta masyarakat adalah suatu proses dimana individu dan keluarga:

  1. Bertanggung jawab atas kesehatan dan kesejahteraan diri, keluarga dan masyarakat.

  2. Berkembang kemampuannya untuk berkontribusi dalam pembangunan.

  3. Mengetahui keadaannya dengan lebih baik dan termotivasi untuk memecahkan masalahnya.

  4. Memungkinkan menjadi penggerak pembangunan (agent of develepment).

Bank Dunia (World Bank, 1978) merumuskan partisipasi masyarakat dari dimensi cakupannya, yakni:
  1. Keterlibatan dari semua unsur yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan terhadap apa yang harus dikerjakan dan bagaimana cara pelaksanaannya.

  2. Kontribusi massa dalam upaya pembangunan, misalnya dalam pelaksanaan dari keputusan yang telah diambil.

  3. Menikmati bersama hasil program pembangunan

Selanjutnya dalam ”World Health Assembly 1979” dirumuskan: Peran serta masyarakat adalah suatu proses untuk mewujudkan kerja sama kemitraan (partnership) antara pemerintah dan masyarakat setempat dalam merencanakan, melaksanakan dan memanfaatkan kegiatan kesehatan, sehingga diperoleh manfaat berupa peningkatan kemampuan swadaya masyarakat dan masyarakat ikut berperan dalam penentuan prasarana dan pemeliharaan teknologi tepat guna dalam pelayanan kesehatan.
Sedangkan Sistem Kesehatan Nasional (SKN) Tahun 1982 menyebutkan bahwa cara masyarakat berperan serta dapat dalam bentuk: ikut dalam penelahaan masalah, ikut dalam perencanaan dan pelaksanaan pemecahahan masalah-masalah kesehatan. Lebih jauh SKN, dalam Dasar-dasar Pembangunan Kesehatan Nasional menyebutkan, bahwa:
  1. Pemerintah dan masyarakat bertanggung jawab dalam memelihara dan mempertinggi derjat kesehatan masyarakat.

  2. Penyelenggaraan upaya kesehatan diatur oleh pemerintah dan dilakukan secara seimbang oleh pemerintah dan masyarakat serta dilaksanakan terutama melalui upaya pencegahan (preventif) dan peningkatan (promotif) secara terpadu dengan upaya penyembuhan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif).

  3. Sikap, suasana kekeluargaan, kegotong royongan serta semua potensi yang ada diarahkan dan dimanfaatkan sejauh mungkin untuk pembangunan kesehatan.

  4. Pelayanan kesehatan nasional harus berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri, berisendikan kepribadian bangsa.

Dari berbagai pengertian dan rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa : Peran Serta Msayarakat adalah proses dimana individu dan keluarga serta lembaga swadaya masyarakat termasuk swasta:
  1. Mengambil tanggung jawab atas kesehatan dan kesejahteraan dirinya sendiri, keluarga serta masyarakat.

  2. Mengembangkan kemampuan untuk berkontribusi dalam peningkatan kesehatan mereka sendiri dan masyarkat sehingga termotivasi untuk memecahkan berbagai masalah kesehatan yang dihadapi.

  3. Menjadi agen, perintis atau penggerak pembangunan kesehatan dan pemimpin gerakan peran serta masyarakat di bidang kesehatan yang dilandasi semangat gotong royong.


Dalam perkembangannya nanti, istilah peran serta masyarakat dipandang kurang dinamis. Istilah tersebut dipandang kurang sesuai dengan isi pengertian yang dicakupnya. Di dunia internasional, selanjutnya juga digunakan istilah lain yang lebih menunjukkan tanggungjawab masyarakat yang lebih besar, yaitu: empowerment, atau community empowerment. Di Indonesia istilah itu menjadi ”pemberdayaan masyarakat”. Dalam berbagai pertemuan dunia/internasional tentang promosi kesehatan, istilah pemberdayaan masyarakat ini yang kemudian lebih ditonjolkan.

Munculnya PKMD

PKMD (Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa) mulai muncul di permukaan pada sekitar tahun 1975. Pada waktu itu oleh Depkes dibentuk Panitya Kerja untuk menyiapkan konsep program Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD). Ketuanya adalah Dr. R. Soebekti, Dirjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat. Landasan dasar dikembangkannya PKMD ini adalah sejarah budaya bangsa Indonesia yang telah turun temurun, yakni “gotong royong’ dan “musyawarah”. Mengacu pada dua prinsip ini maka konsep PKMD dikembangkan dengan semangat kekeluargaan dan saling membantu, yang kuat membantu yang lemah, yang kaya membantu yang miskin, dan yang sehat membantu yang sakit.
Disamping landasan sosio budaya, PKMD juga mengacu pada Pancasila sebagai dasar dan tujuan pembangunan masyarakat Indonesia, yakni Berketuhanan yang Maha Esa, berperikemanusian dan berkebangsaan Indonesia, serta berkeadilan social yang merata bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Pada waktu itu semua program pembangunan harus didasarkan pada Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Demikian pula PKMD, yang di dalam GBHN dengan jelas disebutkan bahwa pembangunan kesehatan bertujuan untuk mencacapai kesempatan yang luas bagi setiap warga Negara untuk meningkatkan derajat kesehatannya sebagai bagian dari pencapaian kesejahteraan sosial. Hal itu juga sejalan dengan Undang-Undang Kesehatan No. 9/1960 yang menyebutkan bahwa kesehatan bukan hanya sekedar bebas penyakit dan cacat, tetapi merupakan keadaan sempurna baik fisik, mental dan sosial. Kesehatan adalah hak setiap warga Negara untuk mecapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya. Untuk mewujudkan derajat kesehatan seperti ini, maka perlu dilaksanakan pembangunan kesehatan masyarakat desa, sebagi bagian dari pembanguan nasional.
Sementara itu PKMD juga dikaitkan dengan kebijakan Departemen Dalam Negeri untuk melaksanakan program pembangunan desa jangka panjang, yaitu untuk menuju desa swasembada dengan pendekatan UDKP (Unit Daerah Kerja Pembangunan). Tiga tipe daerah pembangunan desa pada waktu dikelompokkan berdasarkan perkembangannya, yakni : Desa Swadaya (desa tradisional), Desa Swkarya (desa transsisi), dan Desa Swasembada (modern).
Kemudian pada tahun 1976 (Januari) di dalam Rapat Kerja Kesehatan Nasional ditetapkan bahwa PKMD merupakan pendekatan yang strategis untuk meningkatkan cakupan pelayanan kesehatan dengan target meningkatnya kesehatan masyarakt. Ditetapkan pula bahwa PKMD adalah program nasional. Untuk mengoperasikan PKMD pada bulan Maret tahun 1976 diadakan Lokakarya, yang diahadiri oleh para penjabat Departemen Kesehatan dan Depertemen Dalam Negeri. Hasil Lokakarya tersebut menetapkan Kabupaten Karanganyar sebagai daerah uji coba PKMD. Disamping itu Loakakrya juga menetapkan Prokesa (promoter kesehatan desa) merupakan tenaga lapangan PKMD, dan Dana Sehat merupakan salah satu elemen pokok PKMD.
Selanjutnya pada Rapat Kerja Kesehatan Nasional tahun 1977, hasil uji coba PKMD di kabupaten Karanganyar dibahas, dan dari hasil pembahasan tersebut disimpulkan bahwa PKMD dimantapakan sebagai startegi nasional untuk meningkatkan derajad kesehatan masyarakat Indonesia, terutama di daerah pedesaan. Oleh sebab itu implemetasi PKMD diperluas secara nasional, bukan saja di pedesaan tetapi juga di perkotaan, sehingga muncul istilah PKMD perkotan.
Dalam pertumbuhannya, PKMD mememperoleh komitmen dari lembaga-lembaga baik pemerintah maupun swasta. Departemen-Departemen dan lembaga-lembaga non departemen yang telah meberikan komitmen terhadap PKMD adalah: Departemen Kesehatan, Departemen Dalam Negeri, Depertemen Pertanian, Departemen Sosial, Depertemen Pekerjaan Umum, Departemen Agama , Departemen Perdagangan dan Industri dan Departemen Keuangan. Sedangkan lembaga pemerintahan non Departemen, dan lemabga swadaya masyarakat lainnya yang terlibat adalah: Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), Bank Rakyat Indonesia , Badan Perencanaan Nasional (Bappenas), Pramuka, Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI), Perkumpulan Kelauraga Berenecana Indonsia (PKBI), Organisasi Wanita dan Palang Merah Indonsia.



PKMD dan Deklarasi Alma Ata

PKMD adalah rangkaian kegiatan masyarakat yang dilakukan dengan berazaskan gotong royong dan swadaya. PKMD dilaksanakan dalam rangka menolong diri (masyarakat) sendiri untuk mengenal dan memecahkan masalah/kebutuhan yang dirasakan mayarakat. Kegiatan PKMD ini dimaksudkan untuk mengembangkan kemampuaan masyarakat dalam bidang kesehatan maupun dalam bidang yang berkaitan dengan kesehatan. Oleh sebab itu sasaran utama PKMD adalah: masyarakat mampu memelihara dan meningkatkan kehidupannya yang sehat dan sejehtera. Dengan demikian sebenarnya PKMD sama dan sebangun dengan upaya Pendidikan Kesehatan Masyarakat, khususnya yang dilakukan melalui pengembangan masyarakat (community development).
PKMD juga merupakan bagian integral dari pembangunan nasional pada umumnya, dan pembangunan desa pada khususnya. Kegiatan PKMD diharapkan muncul dari masyarakat sendiri dengan bimbingan dan pembinaan oleh pemerintah setempat secara lintas program dan lntas sektor. Puskesmas sebagai pusat pembangunan kesehatan tingkat kecamatan atau kelurahan mengambil parakarsa dalam pemabangunan kesehatan masyarakat. Tujuan umum PKMD adalah untuk meningkatkan kemampuan masyarakat menolong diri mereka sendiri dibidang kesehatan dalam rangka meningkatkan mutu hidup dan kesejahteraan masyarakat. Sedangkan tujuan khusus PKMD adalah:

  1. Menumbuhkan kesadaran masyarakat akan potensi yang dimiliki untuk menolong diri sendiri dalam meningkatkan mutu hidup mereka.

  2. Mengembangkan kemampuan dan prakarsa masyarakat untuk berperan serta aktif dan berswadaya dalam meningkatkan kesejahteraan mereka sendiri.

  3. Menghasilkan tenaga-tenaga masyarakat setempat yang mampu, trampil serta mau berperan aktif dalam kegiatan pembangunan.

  4. Meningkatnya kesehatan masyarakat.

Dengan demikian sebenarnya PKMD adalah identik dengan pengembangan DKI PKM, sebagaimana yang diceritakan pada bab III. Kedua kegiatan ini sama-sama meningkatkan peranserta dan memberdayakan masyarakat dalam pembangunan kesehatan. Namun karena PKMD melibatkan lintas program dan lintas sektoral, dan di Depkes sendiri dimotori oleh pejabat eselon I, maka PKMD lebih berkembang. Apalagi, PKMD kemudian memperoleh dukungan dunia internasional yang menggalakkan Primary Health Care, yang dicetuskan dalam “Deklarasi Alma Ata”.
Deklarasi itu dicetuskan pada tahun 1978 dalam suatu konferensi kesehatan yang dihadiri oleh 140 negara di dunia, termasuk Indonesia, di Alma Ata. Salah satu keputusan penting konfrensi tersebut adalah dideklarasikan “Sehat Untuk Semua Pada Tahun 2000” atau yang lebih dikenal dengan “Health For All By The Year 2000”. Semua negara yang menanda tangani deklarasi Alma Ata tersebut, termasuk Indonesia sepakat ingin mencapai kesehatan untuk semua tahun 2000 dan “Primary Health Care” sebagai bentuk operasionalnya.
Sementara itu Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) yang telah dikembangkan di Indonesia sejak tahun 1996, sebenarnya sudah merupakan perwujudan “primary helath care”. Maka kemudian dalam kebijakan nasional PKMD dikatakan bahwa “Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) merupakan bentuk kegiatan Primary Health Care” di Indonesia. Dengan adanya deklarasi Alma Ata yang intinya adalah pelaksanaan primary health care, maka memberikan dorongan pada pelaksanaan PKMD di Indonesia.

PKMD Dan SKN

Pada sekitar tahun 1982 ditetapkan Sistem Kesehatan Nasional oleh Menteri Kesehatan RI (waktu itu Dr. Suwardjono Suryaningrat) yang menetapkan pembangunan kesehatan sebagai suatu sistem dari supra sistem pembangunan nasional. Selanjutnya berdasarkan Ketetapan MPR No. II/1983 tentang GBHN, disebutkan bahwa “Dalam rangka mempertinggi taraf kesehatan dan kecerdasan rakyat, pembangunan kesehatan termasuk perbaikan gizi perlu makin ditingkatkan dengan mengembangkan Sistem Kesehatan nasional (SKN).”
Peningkatan kesehatan dilakukan dengan melibatkan peran serta (partisipasi) masyarakat berpengahasilan rendah baik di desa maupun di kota. Panca Karsa Husada sebagai tujuan pembangunan panjang bidang kesehatan mencakup: (1) Peningkatan kemampuan masyarakat untuk menolong dirinya dalam bidang kesehatan; (2) Perbaikan mutu lingkungan hidup yang dapat menjamin kesehatan; (3) Peningkatan status gizi masyarakat; (4) Pengurangan kesakitan dan kematian; dan (5) Pengembangan keluarga sehat sejahtera dengan makin diterimanya norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera.
Untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut dan dikaitkan dengan komitmen Indonesia untuk mengimplementasikan primary health care, ditetapkan hal-hal sebagai berikut:

  1. Hirarkhi tingkat pelayanan kesehatan sehubungan dengan komponen atau unsur-unsur pelayanan kesehatan menurut SKN, mulai dari tingkat Rumah tangga, selanjutnya ke tingkat masyarakat, terus sampai ke tingkat yang lebih tinggi, adalah sebagai berikut:


  2. Bagan Tingkat Pelayanan Kesehatan

























    HirarkhiKomponen atau unsur pelayanan kesehatan
    Tingkat Rumah TanggaPelayanan kesehatan oleh individu atau keluarga sendiri
    Tingkat MasyarakatKegiatan swadaya masyarakat dalam menolong mereka sendiri, atau oleh kader kesehatan.
    Tingkat Pertama Fasilitas Pelayanan KesehatanPuskesmas, Puskesmas Pembantu, Puskesmas Keliling
    Tingkat Rujukan PertamaRumah Sakit Tingkat Kabupaten
    Tingkat Rujukan Yang Lebih TinggiRumah Sakit Kelas B atau A



  3. Pelaksanaan kegiatan pembangunan kesehatan masyarakat desa (PKMD) yang dilakukan masyarakat minimal mencakup salah satu dari 8 unsur Primary Haelath Care sebagai berikut:

    1. Pendidikan mengenai masalah kesehatan dan cara pencegahan penyakit serta perlindungannya.

    2. Peningkatan persediaan makanan dan peningkatan gizi.

    3. Pengadaan air bersih dan sanitasi dasar yang memadai.

    4. Kesehatan Ibu dan Anak termasuk keluarga berencana

    5. Imunisasi untuk penyakit yang utama

    6. Pencegahan dan pengendalian penyakit endemi setempat

    7. Pengobatan penyakit umum dan luka-luka

    8. Penyediaan obat esensial.

  4. Pengembangan dan Pembinaan PKMD dilakukan sebagai berikut:

    1. Berpedoman pada GBHN.

    2. Dilakukan dengan kerja sama lintas program dan lintas sektor melalui pendekatan edukatif.

    3. Koordinasi pembinaan melalui jalur fungsional pada Gubernur, Bupati, atau Camat.

    4. Merupakan bagian integral dari pembangunan desa secara keseluruhan.

    5. Kegiatan dilaksanakan dengan membentuk mekanisme kerja yang efektif antara instansi yang berkepentingan dalam pembinaan masyarakat desa.

    6. Puskesmas sebagai pusat pembangunan dan pengembangan kesehatan berfungsi sebagai dinamisator.



Penyebarluasan PKMD

Begitu PKMD memperoleh komitmen nasional bahkan dunia internasional (melalui Primary Health Care), maka dipersiapkan perangkat keras dan perangkat lunaknya. Direktorat Jenderal Binkesmas Depkes merupakan unit utama yang menggerakkan kegiatan ini dengan dukungan semua unit di Depkes dan unit-unit lain di luar Depkes. Direktorat Puskesmas yang berada di bawah Ditjen Binkesmas merupakan motor atau sekretariat kegiatan ini, yang menyiapkan tenaga, dana, sarana, dll yang diperlukan.
Direktorat tersebut bekerjasama dengan Pusdiklat Depkes dan unit-unit lain yang berkaitan, mula-mula menyelenggarakan pelatihan pelatih untuk beberapa provinsi dan kabupaten. Angkatan pertama pelatihan pelatih ini diselenggarakan di Bandung pada tahun 1978, dengan peserta antara lain dari Jawa Barat (kab. Indramayu), Sumatera Barat (kab. Solok), Jawa Timur (kab. Bangkalan) dan Sulawesi Utara (kab. Tondano). Pelatihan pelatih ini ditindak lanjuti dengan kegiatan pelatihan di masing-masing kabupaten, dan demikian seterusnya sampai pelaksanaan di lapangan. Sementara itu disiapkan pula bahan-bahan berupa pedoman-pedoman, peralatan, dana penunjang, dll. Pelatihan untuk angkatan-angkatan selanjutnya bagi kabupaten-kabupaten lain di Indonesia diselenggarakan di Balai Latihan Kesehatan Masyarakat (BLKM kemudian menjadi Bapelkes) Salaman, Magelang. BLKM Salaman ini kemudian juga berperan sebagai laboratorium lapangan PKMD.
Demikianlah PKMD berkembang di seleuruh penjuru tanah air. Gemanya juga cukup keras terdengar dan di beberapa daerah juga melakukan berbagai inovasi kegiatan. Di antara daerah tersebut adalah Jawa Timur yang pada waktu itu Kepala Kanwilnya adalah Dr. Suyono Yahya. PKMD yang semula lebih terbuka (unstructured) berkembang menjadi lebih fokus (semi structured). Kegiatan yang lebih fokus dan semi structured ini kemudian mengarah pada perkembangan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu). Apalagi Dr. Suyono Yahya kemudian menjadi Dirjen Binkesmas, menggantikan Dr. Subekti yang memasuki pensiun.

Tidak kenal Dirjen WHO Di Pertemuan WHO

Waktu itu ada konferensi internasional yang diselenggarakan oleh
Badan Organisasi Dunia, WHO. Nama konferensi itu: “International
Conference On Community Health Worker: Pillars for Health For
All”. Waktunya pada bulan Desember tahun 1986. Tempatnya di kota
Yaounde, ibu kota negara Cameroon, di Afrika. Wakil dari
Indonesia sebenarnya ada dua orang, tetapi wakil dari program,
pejabat yang cukup senior, berhalangan hadir. Terpaksalah saya sendiri,
yang waktu itu bertugas di Pusdiklat Depkes dan masih muda,
datang ke pertemuan itu. Bahkan saya juga harus menyajikan
pengalaman Indonesia dalam salah satu sidang pleno pertemuan itu.
Sebelum sidang-sidang resmi dimulai, seperti biasa ada acara informal:
Acara santai yang diisi dengan minuman ringan dan makanan kecil
serta bincang-bincang antar peserta, atau untuk saling mengenalkan diri
dengan peserta lain yang belum kenal. Itulah yang saya lakukan pada
waktu itu. Saya cukup aktif untuk mengenalkan diri dan berkenalan
dengan peserta lain dalam konferensi itu.
Di antara kelompok-kelompok peserta ada satu kelompok yang
nampaknya bicaranya lebih ramai. Saya dekati kelompok tersebut dan
bergabung dengan mereka. Saya memperkenalkan diri dan menanya
siapa mereka itu, karena memang belum kenal semuanya. Orang yang
pertama saya jabat tangannya dan menanya siapa dia ternyata
alah Dr. Mahler, Dirjen WHO waktu itu. Dengan sopan beliau
memperkenalkan dirinya, dan menyatakan kegembiraannya bahwa
saya dapat ikut pertemuan itu. Beliau juga menanyakan pejabat
senior dari Indonesia yang tidak dapat hadir dalam pertemuan itu,
serta pejabat-pejabat penting Depkes lainnya, yang beliau sebut
sebagai teman-teman beliau.
Aduh, selain bersyukur dapat bertatap muka dan berbincang langsung
dengan beliau, pada waktu itu saya maluuu banget. Dengan orang setenar
beliau saya kok belum kenal. Seperti diketahui, rasanya beliaulah orang
yang pertama kali mengemukakan kata-kata yang sangat terkenal itu
sampai sekarang. Kata-kata itu adalah : “Health is not everything,
but without health everything else is nothing”.
(Diceritakan oleh Dachroni)

Munculnya Posyandu

Dengan berkembangnya PKMD dan dalam implementasinya menggunakan pendekatan edukatif, muncullah berbagai kegiatan sawadaya masyarakat untuk pelayanan kesehatan antara lain: Pos Penimbangan Balita, Pos Imunisasi, Pos KB Desa, Pos Kesehatan, Dana Sehat. Selain itu juga muncul berbagai kegiatan lain, yang berada di luar kesehatan, meskipun tetap ada kaitannya dengan bidang kesehatan. Kegiatan-kegiatan tersebut murni muncul dari masyarakat sendiri, dan untuk pelayanan mereka sendiri, dibidang kesehatan.
Secara teori, pada periode ini telah muncul perbedaan sudut pandang. Mulai terlihat bahwa salah satu kelemahan dari pendekatan edukatif adalah belum berhasil memunculkan “community real need”. Yang terjadi adalah bahwa melalui pendekatan edukatif ini telah muncul berbagai “community felt need”. Akibatnya muncul berbagai kegiatan masyarakat sesuai kebutuhan masyarakat tersebut. Dengan munculnya aneka ragam kegiatan masyarakat tersebut, sulit untuk memperhitungkan kontribusi kegiatan masyarakat tersebut terhadap peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Hal ini mendorong para pengambil keputusan di lingkungan Departemen Kesehatan untuk melakukan perubahyan pada pendekatan edukatif sebagai strategi pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan kesehatan.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka pada tahun 1984, berbagai kelompok kegiatan yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan (Pos Penimbangan Balita, Pos Imunisasi, Pos KB Desa, Pos Kesehatan), dilebur menjadi satu bentuk pelayanan kesehatan terpadu yang disebut Posyandu (pos pelayanan terpadu). Atau lengkapnya Pos Pelayanan Terpadu KB-Kesehatan. Peleburan menjadi Posyandu tersebut, selain setelah dicoba dikembangkan di Jawa Timur, juga setelah melalui tahap kegiatan uji coba di tiga provinsi, yaitu: Sumatera Selatan, Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Dipadukannya pelayanan KB dan kesehatan ini dimaksudkan untuk memberikan kemudahan dan keuntungan bagi masyarakat. Karena dengan keterpaduan pelayanan ini masyarakat dapat memperoleh pelayanan lengkap pada waktu dan tempat yang sama.
Secara konsepsual, Posyandu merupakan bentuk modifikasi yang lebih maju dalam upaya pemberdayaan masyarakat untuk menunjang pembangunan kesehatan, khususnya dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat melalui penurunan angka kematian bayi. Modifikasi tersebut adalah dengan tetap mempertahankan prinsip dari, oleh dan untuk masyarakat, gotong royong dan sukarela, namun bentuk kegiatan masyarakat dalam pembangunan kesehatan tidak lagi beragam, karena sudah diarahkan dan diseragamkan yaitu Posyandu. Melalui keseragaman kegiatan masyarakat dalam bentuk Posyandu, diharapkan dapat berdampak pada peningkatan derajat kesehatan masyarakat, khususnya penurunan angka kematian bayi dan balita.
Posyandu merupakan unit pelayanan kesehatan di lapangan yang diselenggarakan oleh masyarakat untuk masyarakat dengan dukungan teknis Puskesmas, Departemen Agama, Departemen Pertanian, dan BKKBN. Posyandu melaksankan 5 program kesehatan dasar yakni: KB, kesehatan ibu dan anak, gizi, imunisasi, dan penaggulangan diare. Adapun sasaran utama adalah menurunkan angka kematian bayi dan memperbaiki status kesehatan dan gizi balita, maupun ibu hamil dan menyusui.
Posyandu merupakan wadah partsipasi masyarakat, karena Posyandu paling banyak menggunakan tenaga kader. Kader ini merupakan tenaga relawan murni, tanpa dibayar, namun merupakan tenaga inti di Posyandu. Sebagian besar kader adalah wanita, anggota PKK (Pembinaan Kesejahteraan Keluarga). Maka dapat dikatakan bahwa PKK merupakan sumber penggerak Posyandu. Tokoh-tokoh di awal terbentuknya Posyandu ini adalah: Dr. M. Adhyatma, Dr. Suyono Yahya, Ibu Soeparjo Rustam, dll.

Stand Pameran yang paling lama dikunjungi Presiden RI

Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Presiden Soeharto.
Pada waktu itu diadakan peringatan ulang tahun BKKBN, Dep.
Transmigrasi dan Tenaga Kerja dan Dep. Pertanian. Dengan
pertimbangan efisiensi, upacara peringatan tersebut digabungkan
menjadi satu peristiwa dan dilangsungkan di daerah transmigrasi
di provinsi Jambi.
Karena Presiden Soeharto dan ibu Tien berkenan akan hadir ke
acara tersebut, maka di lokasi tersebut akan diadakan pameran
yang menggambarkan kemajuan yang telah dicapai oleh ketiga
departemen/lembaga tersebut. Tentu saja mereka mengerahkan
segala daya termasuk dana untuk menyiapkan pameran untuk
memberikan kesan “hebat” kepada Kepala Negara.
Setelah persiapan selesai, tiba-tiba saja Dep. Kesehatan juga diberi
kesempatan untuk turut serta dalam pameran tersebut. Maka dikirim
rombongan dengan misi khusus yang terdiri dari: Bapak Ign Tarwotjo
MSc, Dr. Widyastuti MScPH, Drs. Sri Widodo, MPH dan Drs. Muchsin
Alwi, MPH. Tim ini dibantu oleh Dr. Fadlun dari Dinkes Jambi dengan
tugas menyiapkan pameran di lokasi transmigrasi.
Karena merupakan peserta terakhir, Depkes tidak memperoleh tempat
di dalam gedung pameran, karena semua tempat telah penuh terisi. Oleh
panitia disediakan tempat di luar gedung, bersebelahan dengan tempat
pameran sapi Banpres. Hanya dalam tempo semalam disiapkanlah rencana
pameran tersebut, dan tema yang dipilih adalah Posyandu. Dalam stand
pameran itu ditampilkan kegiatan kader Posyandu lengkap dengan peralatan
dan bayi.
Alhamdulillah, ternyata stand dadakan ini merupakan stand yang paling
lama dikunjungi oleh Bapak Presiden dan Ibu Tien Soeharto. Sedangkan
stand lain di dalam gedung hanya dilewati saja oleh kedua beliau. Rupanya
beliau menikmati sekali sajian lagu “Aku Anak Sehat” yang dibawakan oleh
para kader Posyandu.

Tujuan Posyandu dan Sistem Pelayanan 5 Meja

Sasaran utama pelayanan Posyandu adalah kelompok-kelompok rentan, yakni ibu hamil, ibu menyusui, bayi dan anak balita. Oleh sebab itu pelayanan Posyandu mencakup pelayanan-pelayanan: kesehatanan ibu dan anak, imunisasi, gizi, penanggulangan diere, dan keluarga berencana.
Tujuan dikembangkannya Posyandu sejalan dengan tujuan pembangunan kesehatan, yakni:

  1. Untuk mempercepat penurunan angka kematian bayi dan anak balita, dan angka kelahiran.

  2. Untuk mempercepat penerimaan norma keluarga kecil bahagia dan sejahtera (NKKBS).

  3. Berkembangnya kegiatan-kegiatan masyarakat dalam rangka menunjang meningkatnya kesehatan masyarakat, sesuai dengan kebutuhan dan kemampuannya.

Pelayanan Posyandu menganut sistem 5 meja, dengan urutan sebagai berikut:
  1. Meja 1:Melayani pendaftaran bagi para pengunjung Posyandu, yang dikelompokkan menjadi 3 yakni: bayi dan anak balita, Ibu hamil dan menyusui, dan PUS (pasangan usia subur). Pelayanan meja 1 dilakukan oleh kader kesehatan.

  2. Meja 2: Melayani penimbangan bayi, balita, dan ibu hamil, dalam rangka memantau perkembangan bayi, balita, dan janin dari ibu yang sedang hamil, yang dilayani oleh kader kesehatan.

  3. Meja 3: Melayani pencatatan hasil dari penimbangan dari Meja 2 didalam KMS (kartu menuju sehat), baik KMS bayi/balita maupun KMS ibu hamil, juga dilayanani oleh kader.

  4. Meja 4: Melakukan penyuluhan kepada ibu bayi/balita dan ib hamil, sebagai tindak lanjut dari hasil pemantauan status gizi, balita dan ibu hamil, dan KB. Meja ini dilayani oleh petugas atau kader.

  5. Meja 5: Dilakukan pelayanan oleh petugas medis/para medis dari Puskesmas untuk imunisasi, pemasangan alat kontrasepsi, atau pengobatan bagi yang memerlukan, dan periksa hamil. Bila terdapat kasus yang tidak dapat ditangani oleh Posyandu, mereka akan dirujuk ke Puskesmas.

Perkembangan pesat Posyandu

Penyelenggaraan Posyandu pada berbagai tatanan administrasi, merupakan satu bentuk demonstrasi tentang betapa efektifnya jejaring kemitraan yang dikembangkan oleh Departemen Kesehatan. Di Depkes, unit yang merupakan penggerak kegiatan Posyandu ini adalah Direktorat Bina Peran Serta Masyarakat (BPSM) yang berada di bawah Direntorat Jenderal Binkesmas, yang merupakan ”saudara kembar” dari unit Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, yang berada dibawah Sekretariat Jendral.
Dalam rangka pengembangan jejaring kemitraan untuk mennunjang penyelenggaraan Posyandu, Departemen Dalam Negeri mengambil prakarsa untuk mewujudkan Kelompok Kerja nasional Posyandu (Pokjananl Posyandu), sebagai bagian dari institusi LKMD yang ada pada setiap jenjang administrasi pemerintahan. LKMD ini merupakan wadah koordinasi berbagai kegiatan peran serta masyarakat dalam pembangunan. Inilah yang merupakan salah satu kunci suksesnya pengembangan Posyandu, yaitu karena terjalinnya kemitraan yang kuat dan luas di kalangan penyelenggara pemerintahan melalui Pokjanal Posyandu tersebut
Demikianlah kemudian Posyandu berkembang sangat pesat. Terakhir tercatat tidak kurang dari 240.000 buah Posyandu yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Banyak pejabat kesehatan dunia dan dari negara sahabat datang berkunjung, serta berdecak kagum melihatnya dari dekat. Ini juga tidak lepas dari para kader PKK (penggerak kesejahteraan keluarga) yang menjadi penggerak Posyandu mulai dari Pusat sampai ke lini paling depan. Atas perannya ini, wajarlah apabila Ibu Suparjo Rustam memperoleh penghargaan deari WHO (berupa Sasakawa award).
Memang belum dapat diketahui secara pasti berapa besar kontribusi keberadaan dan kegiatan Posyandu ini terhadap penurunan angka kematian bayi. Tetapi yang pasti memang terjadi penurunan angka kematian bayi berbarengan dengan melesatnya perkembangan Posyandu di Indonesia. Namun Posyandu belum berdampak positif pada penurunan angka kematian ibu. Dan dengan terjadinya krisis ekonomi dan sosial di sekitar tahun 2000, banyak Posyandu yang terpuruk. Pada saat ini sedang dilakukan kegiatan revitalisasi Posyandu.



Peran PKM Dalam Pengembangan Posyandu

Penyuluhan Kesehatan Masyarakat menempati peran sentral dalam pengembangan Posyandu. Itu dilakukan selain masukan berupa gagasan, terutama berupa upaya untuk mempromosikannya. Dalam kaitan ini banyak sekali media penyuluhan dikembangkan untuk menunjang kegiatan Posyandu. Poster, leaflet, dan berbagai buku pedoman banyak dicetak dan disebar luaskan. Baligo: ”Ayo ke Posyandu” banyak dipasang di mana-mana. Logo dan slogan Posyandu dikenal sampai sekarang, yaitu: ”Menjaga anak sehat tetap sehat”. Sinetron Dr. Sartika dibuat a.l. juga untuk menyebar luaskan pentingnya Posyandu.
Selain itu disebar luaskan pula lagu ”Aku Anak Sehat” yang syairnya ditulis oleh Drs. Oendang Badruzzaman (staf PKM, angkatan ke 4 Proyek Pengembangan Tenaga HES), dan lagunya diciptakan oleh A Riyanto (almarhum). Lagu itu dikenal dan dinyanyikan secara luas sampai sekarang. Di bawah ini adalah syair lagu ”Aku Anak Sehat” tersebut:

Aku Anak Sehat

Aku anak sehat, tubuhku kuat
Karena ibuku rajin dan cermat
Semasa aku bayi selalu diberi ASI
Makanan bergizi dan imunisasi

Berat badanku ditimbang selalu
Posyandu selalu menunggu setiap waktu
Bila aku diare ibu telah waspada
Pertolongan oralit telah siap sedia

Demikianlah, dalam PKMD dan Posyandu ini mengingatkan kita pada jargon yang mengajak kita untuk lebih mengenali masyarakat, melarang kita untuk menggurui masyarakat bahkan kita harus lebih banyak belajar kepada masyarakat. Paling tidak kita harus dapat menangkap aspirasi masyarakat, sebagaimana diungkapkan di awal tulisan bab ini: “Go to the people, stay with them, learn from them and work with them”.

Penyuluhan Kesehatan Melalui Media Elektronik

Selain penggerakan dan pemberdayaan masyarakat melalui PKMD dan Posyandu, penyuluhan kesehatan pada waktu itu juga dilakukan melalui berbagai media, baik media cetak, media luar ruang, maupun khususnya media elektronik. Media elektronik itu terutama melalui radio dan televisi, selain juga dilakukan melalui kaset atau VCD, berupa lagu-lagu atau film lepas, dan belakangan juga melalui internet. Khususnya penyuluhan melalui radio sudah dilakukan sejak awal kemerdekaan melalui RRI, meskipun belum terprogram secara tetap. Selain acara yang berskala nasional juga berlangsung siaran yang bersifat lokal.
Kemudian pada sekitar tahun 1980-an, Direktorat PKM mempunyai program tetap penyuluhan kesehatan melalui RRI Program Nasional. Programnya berupa acara langsung dalam bentuk dialog tentang penyakit-penyakit yang ada di masyarakat. Tanggapan masyarakat berupa pertanyaan tertulis diajukan ke Direktorat PKM, yang dijawab oleh pengasuh pada acara dialog selanjutnya, atau melalui surat. Selanjutnya juga dikembangkan pesan-pesan kesehatan melalui sandiwara radio (judul: ”Butir-butir Pasir Putih”), yang siarannya dibawakan oleh para aktor/aktris RRI, dan PKM megirim bahan sampai ratusan naskah.
Pada sekitar tahun 1995-2000 karena maraknya masalah HIV/AIDS, dikembangkan sandiwara radio dengan topik HIV/AIDS. Sandiwara yang dilsiarkan setiap hari itu dilakukan oleh RRI dan terdengar sampai ke Papua. Khusus untuk sandiwara radio ini juga ada ratusan naskah, dan acaranya disertai lomba berupa ”kwis” untuk menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan materi sandiwara. Para pemenang lomba diundang dalam acara konperensi pers. Ada yang sangat mengharukan: Salah satu pemenangnya adalah mahasiswa ITB yang menyatakan bahwa hadiahnya akan dipergunakan untuk membayar uang kuliah. Padahal waktu itu hadiahnya hanya beberapa ratus rupiah saja. Selain itu juga ada radio spot juga mengenai HIV/AIDS yang sehari diulang sampai lima kali. Acara-acara itu disponsori oleh Ford Foundation, yang juga mensponsori acara di televisi. Penyuluhan kesehatan melalui radio ini terus berlangsung sampai sekarang, bahkan meliputi radio swasta nasional dan lokal, dengan berbagai program dan topik pesan.
Sedangkan acara penyuluhan kesehatan melalui televisi, mulai berlangsung sejak tahun 1960-an akhir atau 1970-an awal. Pada waktu itu televisi pada umumnya masih hitam putih, dan bintangnya adalah dr. Herman Susilo, MPH, kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta waktu itu, dibantu oleh Drs. Tarzan Panggabean, dari unit PKM DKI Jakarta. Penyuluhan kesehatan berupa nasehat-nasehat yang diberikan oleh dokter kepada pasiennya yang datang berobat dengan berbagai penyakit yang dideritanya. Acara itu cukup berkesan di masyarakat, dan banyak anak yang mengidolakan profil dr. Herman Susilo. Acara ini tetap berlangsung meskipun dr. Herman Susilo sudah tidak lagi menjabat sebagai kepala Dinas Kesehatan DKI. Kemudian juga ada penyuluhan kesehatan yang diberikan oleh dr. Sumaryati Aryoso, SKM, yang waktu itu menjabat sebagai kepala Unit PKM DKI Jakarta. Penyuluhan dilakukan dalam bentuk dialog dengan beberapa orang penanya yang hadir di studio tentang berbagai penyakit atau masalah kesehatan yang ada di masyarakat.
Selanjutnya pada sekitar tahun 1980-1995 itu, penyuluhan kesehatan melalui TVRI diorganisir oleh Direktorat PKM melalui beberapa acara, antara lain:

  1. Sebaiknya Anda Tahu, yang menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan/penyakit yang perlu diketahui oleh masyarakat luas.

  2. Dari Desa Ke Desa, mengekspose kegiatan masyarakat desa dalam melakukan upaya-upaya yang dilakukan masyarakat setempat untuk meningkatkan kesehatan masyarakatnya.
  3. Dewasa Kita, mengekspose satu desa yang masyarakatnya giat melakukan upaya kesehatan di desanya.

  4. Bentuk acara lain, misalnya tentang mereka (petugas kesehatan atau kader kesehatan) yang berhasil membangun kesehatan masyarakat di wilayahnya. Selain itu juga pesan-pesan kesehatan melalui sandiwara boneka ”Si Unyil”, ”Ria Jenaka”, dll. Sementara itu lagu ”Aku Anak Sehat” juga sering berkumandang melalui TVRI.

Acara-acara tersebut cukup berjalan dengan baik. Khusus acara nomor 2 dan 3 sangat merangsang desa-desa lain, dan sering sekali mendapat dukungan kuat dari Pemerintah Daerah setempat.

Sinetron Dr. Sartika dan Bidan Minati

Pada sekitar tahun 1980-an itu ada drama TV ”Losmen” yang sangat digemari masyarakat. Kemudian Menkes pada waktu itu, Dr. Soewardjono Soerjaningrat memanggil Dr. IB Mantra, Kapus PKM waktu itu untuk menjajagi adanya sinetron seperti ”Losmen”. Diadakanlah pendekatan kepada Ami Priyono dan Wahyu Sihombing. Disepakatilah harga per episode waktu itu Rp. 25 juta bersih. Padahal drama Losmen hanya Rp. 14 juta. Setelah dibuat proposal, Bappenas memberikan persetujuan, bahkan harganya menjadi Rp. 30 juta karena harus dilakukan melalui tender.
Maka dirancanglah sinetron khusus untuk menyebar luaskan pesan-pesan kesehatan ini, yang diberi nama: Dr. Sartika. Skenario naskah disusun oleh Ibu Maryati Sihombing. Sedangkan konsultan materi adalah program-program di lingkungan Depkes. Pengatur pesan-pesan kesehatan menjadi tanggungjawab Pusat PKM dengan ”contact person” : Drs. Oendang Badruzzaman, staf Pusat PKM. Para bintangnya antara lain: Dewi Yull yang memerankan Dr. Sartika, Dwi Yan sebagai Dr. Imam, dll. Tetapi ada saja kecolongan. Misalnya cuci tangan di ember. Maka selain meneliti naskah, diperlukan pula supervisi ke lapangan. Maka dalam setiap ”shooting” yang dilakukan di luar studio, staf PKM pada umumnya selalu menlakukan supervisi lapangan.
Program sinetron Dr. Sartika ini mendapat sambutan hangat masyarakat. Sinetron ini meskipun berisi pesan-pesan kesehatan, tetapi dijalin dengan masalah keluarga dan masyarakat, sehingga pesan-pesannya mengalir, tidak menggurui dan ”alamiah”. Melalui sinetron ini masyarakat dapat belajar hidup sehat serta menjadikan Puskesmas sebagai tempat pelayanan kesehatan bagi yang membutuhkannya (tidak pergi ke dukun). Sinetron ini sekaligus juga berisi informasi kepada para petugas Puskesmas, untuk memberikan pelayanan kesehatan yang baik dan benar. Sinetron tersebut juga menjadi rujukan dan penghubung antara program dan petugas Puskesmas. Selain itu sinetron ”Dr. Sartika” ini juga memberikan dampak positif kepada para artis pendukungnya. Misalnya, ada artis yang semula perokok berat kemudian menghentikan kebiasaan merokoknya tersebut. Program ini berjalan sampai 39 episode, dan berjalan selama sekitar empat tahun (1989-1992). Harga per episode berkembang dari sekitar Rp 25 juta menjadi sekitar Rp. 250 juta. Program ini berhenti, karena beberapa alasan. Antara lain pada waktu itu sudah mulai ada beberapa saluran TV swasta yang menyediakan banyak pilihan acara lain. Selain itu biaya produksi dan tayang semakin mahal, sehingga sponsor program ini akhirnya tidak melanjutkan acara ini. Sinetron Dr. Sartika ini pernah mau dihidupkan lagi, tetapi ada beberapa kendala sehingga sampai sekarang belum berhasil.
Selain sinetron Dr. Sartika juga dikembangkan film-film lepas. Antara lain mini seri film yang berjudul: ”Minati Bidan Tercinta”. Film ini bertujuan untuk mempromosikan bidan di desa yang pada waktu itu kurang memperoleh sambutan masyarakat, karena banyak di antara mereka yang masih lajang dan belum mempunyai banyak pengalaman menolong persalinan. Pemeran utama film ini adalah Uci Bing Slamet. Mini seri ini berjalan baik meskipun sambutan masyarakat tidak sehangat sebagaimana pada Dr. Sartika.



Sinetron Kupu-kupu Ungu dan acara-acara lainnya

Selain kedua sinetron tersebut, juga ada sinetron lepas dengan judul ”Relung Hati”, yang dibintangi oleh Drg. Fadli dan Minati Atmanagara, untuk mempromosikan dokter Inpres. Sinetron lepas lainnya adalah ”Pengakuan” yang dibintangi oleh Leila Anggraeni dll, untuk menunjang program Kesehatan Ibu dan Anak. Sedangkan untuk menunjang program air dibuat film dengan judul : ”Cintaku pada Gemericik Air”.
Kemudian pada sekitar tahun 1994 persoalan HIV/AIDS mulai marak. Pada waktu itu di Ford Foundation Perwakilan Indonesia ada Dr. Rosalia (orang Itali yang bersuamikan orang Indonesia) yang sangat peduli dengan HIV/AIDS. Melalui Ford Foundation disponsorilah berbagai kegiatan penanggulangan HIV/AIDS, antra lain sinetron di televisi. Maka dibuatlah sinetron, dengan judul: ”Kupu-kupu ungu”. Sutradara dan penulis skenario adalah Nino Riantarno, dengan bintang utamanya: Nurul Arifin. Untuk menulis skenario tersebut berkumpul beberapa orang pakar yang mewakili beberapa unit program di Depkes dan beberapa unsur swasta/LSM. ”Contact person” dari Pusat PKM adalah Ir. Ninik Suharini Sahal. Sinetron ini disiarkan di RCTI, dibuat sampai 13 episode, menyajikan persoalan HIV/AIDS dari berbagai segi pandang, termasuk HIV/AIDS pada anak, ibu rumah tangga, Pekerja Seks Komersial, ODHA, dll. Beberapa judul sinetron ini bahkan diminta untuk disajikan pada festival film Asia di Amsterdam pada sekitar tahun 1995 dan di Kualumpur pada sekitar tahun 1999.
Penyuluhan melalui televisi selain melalui sinetron juga melalui acara-acara lain seperti: kompetisi lagu-lagu kesehatan: ada versi pop, dangdut dan rock. Juga melalui lagu-lagu gambang kromong Benyamin S dan Ida Royani. Selanjutnya yang semakin marak sampai sekarang adalah penyampaian pesan melalui ”filler” atau iklan layanan masyarakat. Sudah banyak sekali ”filler” yang ditayangkan mengenai berbagai macam program. Salah satunya yang cukup terkenal pada waktu itu adalah dengan judul: ”Jangan Lupa” yang disampaikan oleh Butet Kertajaya dengan kocaknya, sehingga setiap kita melihat dan mendengar suaranya: ”Jangan Lupa” kita lalu ingat pesan-pesannya tentang HIV/AIDS. Juga filler tentang Ibu Hamil, Napza/Narkoba, Gizi, Gaya Hidup Sehat, dll. Dan kita juga akan selalu ingat filler tentang Pekan Imunisasi Nasional yang dibawakan oleh kelompok Rano Karno dan Mandra yang waktu itu sangat tenar.
Pesan-pesan kesehatan yang disebar luaskan melalui media televisi dan kerjasama dengan para artis ini tetap berlangsung sampai sekarang. Beberapa cukup berhasil membina suasana dan mengajak masyarakat untuk berbuat sesuatu. Namun beberapa juga ada yang kurang mendapat sambutan masyarakat. Perlu diakui bahwa tayangan melalui teleivisi itu biayanya sangat mahal.
Pada hal pada saat ini pilihan saluran TV cukup banyak, sehingga upaya penyebar luasan informasi melalui televisi ini perlu dihitung dengan cermat plus minusnya. Evaluasi terhadap program kesehatan di televisi ini seharusnya dilakukan, untuk lebih mengetahui efektifitas dan efisiensinya, dan terutama untuk dapat lebih memahami aspirasi masyarakat terhadap pesan-pesan kesehatan.
Selanjutnya selain sinetron, film lepas atau filler tersebut juga diproduksi kaset dan VCD, berisi lagu, film atau pesan nlainnya. Media-media tersebut kemudian disebar luaskan ke beberapa media televisi dan radio, baik yang ada di Jakarta maupun di kota-kota lainnya. Dikembangkan pula pesan-pesan atau tulisan melalui internet, dengan kode: www.promosikesehatan.com. Pusat Promkes sekarang juga membuka saluran melalui email dengan kode: pa@promosikesehatan.com.






ERA PROMOSI KESEHATAN DAN PARADIGMA SEHAT
(Kurun waktu 1995-2005)




Munculnya Istilah Promosi Kesehatan

Istilah Health Promotion (Promosi Kesehatan) sebenarnya sudah mulai dicetuskan setidaknya pada tahun 1986, pada waktu diselenggarakan Konferensi International Pertama tentang Health Promotion di Ottawa, Canada, pada tahun 1986. Pada waktu itu dicanangkan the Ottawa Charter, yang memuat definisi dan prinsip-prinsip dasar Health Promotion. Namun istilah tersebut pada waktu itu di Indonesia belum bergema. Pada waktu itu, istilah yang ada tetap Penyuluhan Kesehatan, disamping juga populer istilah-istilah lain seperti: KIE (Komunikasi, Informasi dan Edukasi), Pemasaran Sosial (Social Marketing), Mobilisasi Sosial, dll.
Suatu ketika pada sekitar akhir tahun 1994, Dr. Ilona Kickbush, yang baru saja menjabat sebagai Direktur Health Promotion WHO Headquarter Geneva, datang ke Indonesia. Sebagai direktur baru ia mengunjungi beberapa negara, termasuk Indonesia. Kebetulan pada waktu itu Kepala Pusat Penyuluhan Kesehatan Depkes juga baru saja diangkat, yaitu Drs. Dachroni MPH, yang menggantikan Dr. IB Mantra yang purna bakti (pensiun). Dengan kedatangan Dr. Kickbush, diadakanlah pertemuan dengan pimpinan Depkes dan pertemuan lainnya baik internal penyuluhan kesehatan maupun external dengan lintas program dan lintas sektor, termasuk FKM UI. Bahkan sempat pula mengadakan kunjungan lapangan ke Bandung, yang diterima dengan baik oleh Ibu Neni Surachni (kepala Sub Dinas PKM Jabar waktu itu) dan teman-teman lain di Bandung. Dari serangkaian pertemuan itu serta perbincangan selama kunjungan lapangan ke Bandung, kita banyak belajar tentang Health Promotion (Promosi Kesehatan). Barangkali karena terkesan dengan kunjungannya ke Indonesia, ia kemudian menyampaikan usulan agar Indonesia dapat menjadi tuan rumah Konferensi International Health Promotion yang keempat, yang sebenarnya memang sudah waktunya diselenggarakan.
Usulan itu diterima oleh pimpinan Depkes (Menteri Kesehatan waktu itu Prof. Dr. Suyudi). Kunjungan Dr. Kickbush itu ditindak lanjuti dengan kunjungan pejabat Health Promotion WHO Geneva lainnya, yaitu Dr. Desmond O Byrne, sampai beberapa kali, untuk mematangkan persiapan konferensi Jakarta. Sejak itu khususnya Pusat Penyuluhan Kesehatan Depkes berupaya mengembangkan konsep promosi kesehatan tersebut serta aplikasinya di Indonesia. Sebagai tuan rumah konferensi internasional tentang promosi kesehatan, seharusnyalah kita sendiri mempunyai kesamaan pemahaman tentang konsep dan prinsip-prinsipnya serta dapat mengembangkannya paling tidak di beberapa daerah sebagai percontohan.
Dengan demikian penggunaan istilah promosi kesehatan di Indonesia tersebut dipacu oleh perkembangan dunia internasional. Nama unit Health Education di WHO baik di Headquarter, Geneva maupun di SEARO, India juga sudah berubah menjadi Unit Health Promotion. Nama organisasi profesi internasional juga sudah berubah menjadi International Union for Health Promotion and Education (IUHPE). Istilah promosi kesehatan tersebut juga ternyata sesuai dengan perkembangan pembangunan kesehatan di Indonesia sendiri, yang mengacu pada paradigma sehat.



Strategi Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)

Bertolak dari prinsip-prinsip yang dapat dipelajari tentang Promosi Kesehatan, pada pertengahan tahun 1995 dikembangkanlah Strategi atau Upaya Peningkatan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (disingkat PHBS), sebagai bentuk operasional atau setidaknya sebagai embrio promosi kesehatan di Indonesia. Strategi tersebut dikembangkan melalui serangkaian pertemuan baik internal Pusat Penyuluhan Kesehatan maupun external secara lintas program dan lintas sektor, termasuk dengan organisasi profesi, FKM UI dan LSM.
Beberapa hal yang dapat disarikan tentang pokok-pokok Promosi Kesehatan (Health Promotion) atau PHBS yang merupakan embrio Promosi Kesehatan di Indonesia ini, adalah bahwa:

  1. Promosi Kesehatan (Health Promotion), yang diberi definisi : Proses pemberdayaan masyarakat untuk memelihara, meningkatkan dan melindungi kesehatannya (the process of enabling people to control over and improve their health), lebih luas dari Pendidikan atau Penyuluhan Kesehatan. Promosi Kesehatan meliputi Pendidikan/ Penyuluhan Kesehatan, dan di pihak lain Penyuluh/Pendidikan Kesehatan merupakan bagian penting (core) dari Promosi Kesehatan.

  2. Pendidikan/Penyuluhan Kesehatan (dapat dikatakan) menekankan pada upaya perubahan atau perbaikan perilaku kesehatan. Promosi Kesehatan adalah upaya perubahan/perbaikan perilaku di bidang kesehatan disertai dengan upaya mempengaruhi lingkungan atau hal-hal lain yang sangat berpengaruh terhadap perbaikan perilaku dan kualitas kesehatan.

  3. Promosi Kesehatan juga berarti upaya yang bersifat promotif (peningkatan) sebagai perpaduan dari upaya preventif (pencegahan), kuratif (pengobatan) dan rehabilitatif (pemulihan) dalam rangkaian upaya kesehatan yang komprehensif. Promosi Kesehatan juga merupakan upaya untuk menjajakan, memasarkan atau menjual yang bersifar persuasif, karena sesungguhnya “kesehatan” merupakan “sesuatu” yang sangat layak jual, karena sangat perlu dan dibutuhkan setiap orang dan masyarakat.

  4. Pendidikan/penyuluhan kesehatan menekankan pada pendekatan edukatif, sedangkan pada promosi kesehatan, selain tetap menekankan pentingnya pendekatan edukatif yang banyak dilakukan pada tingkat masyarakat di strata primer (di promosi kesehatan selanjutnya digunakan istilah gerakan pemberdayaan masyarakat), perlu dibarengi atau didahului dengan upaya advokasi, terutama untuk strata tertier (yaitu para pembuat keputusan atau kebijakan) dan bina suasana (social suppoprt), khususnya untuk strata sekundair (yaitu mereka yang dikategorikan sebagai para pembuat opini). Maka dikenallah strategi ABG, yaitu Advokasi, Bina Suasana dan Gerakan/pemberdayaan Masyarakat.

  5. Pada pendidikan/penyuluhan kesehatan, masalah diangkat dari apa yang ditemui atau dikenali masyarakat (yaitu masalah kesehatan atau masalah apa saja yang dirasa penting/perlu diatasi oleh masyarakat, now(), now()); Pada PHBS, masyarakat diharapkan dapat mengenali perilaku hidup sehat, yang ditandai dengan sekitar 10 perilaku sehat (health oriented). Masyarakat diajak untuk mengidentifikasi apa dan bagaimana hidup bersih dan sehat, kemudian mengenali keadaan diri dan lingkungannya serta mengukurnya seberapa sehatkah diri dan lingkungannya itu?
    Pendekatan ini kemudian searah dengan paradigma sehat, yang salah satu dari tiga pilar utamanya adalah perilaku hidup sehat. (Sebenarnya ini tidak baru, karena dalam Posyandu, masalah juga sudah difokuskan pada sekitar 5 masalah prioritas).

  6. Pada pendidikan/penyuluhan kesehatan yang menonjol adalah pendekatan di masyarakat (melalui pendekatan edukatif), sedangkan pada PHBS/promosi kesehatan dikembangkan adanya 5 tatanan: yaitu di rumah/tempat tinggal (where we live), di sekolah (where we learn), di tempat kerja (where we work), di tempat-tempat umum (where we play and do everything) dan di sarana kesehatan (where we get health services). Dari sini dikembangkan kriteria rumah sehat, sekolah sehat, tempat kerja sehat, tempat umum sehat, dll yang mengarah pada kawasan sehat seperti : desa sehat, kota sehat, kabupaten sehat, dll sampai ke Indonesia Sehat.

  7. Pada promosi kesehatan, peran kemitraan lebih ditekankan lagi, yang dilandasi oleh kesamaan (equity), keterbukaan (transparancy) dan saling memberi manfaat (mutual benefit). Kemitraan ini dikembangkan antara pemerintah dengan masyarakat termasuk swasta dan Lembaga Swadaya Masyarakat, juga secara lintas program dan lintas sektor.

  8. Sebagaimana pada Pendidikan dan Penyuluhan, Promosi Kesehatan sebenarnya juga lebih menekankan pada proses atau upaya, dengan tanpa mengecilkan arti hasil apalagi dampak kegiatan. Jadi sebenarnya sangat susah untuk mengukur hasil kegiatan, yaitu perubahan atau peningkatan perilaku individu dan masyarakat. Yang lebih sesuai untuk diukur: adalah mutu dan frekwensi kegiatan seperti: advokasi, bina suasana, gerakan sehat masyarakat, dll. Karena dituntut untuk dapat mengukur hasil kegiatannya, maka promosi kesehatan mengaitkan hasil kegiatan tersebut pada jumlah tatanan sehat, seperti: rumah sehat, sekolah sehat, tempat kerja sehat, dst.

Konsep Promosi Kesehatan dan/atau PHBS tersebut selanjutnya digulirkan ke daerah dan beberapa daerah mencoba mengembangkannya paling tidak di beberapa kabupaten.

Konferensi Internasional Health Promotion IV dan Deklarasi Jakarta

Konferensi Internasional Promosi Kesehatan IV ini terselenggara pada bulan Juli 1997 bertempat di Hotel Horison, Ancol, Jakarta. Konferensi I di Ottawa, Canada (1986) menghasilkan ”Ottawa Charter”, memuat 5 strategi pokok Promosi Kesehatan, yaitu : (1) Mengembangkan kebijakan yang berwawasan kesehatan (healthy public policy, now(), now()); (2) Menciptakan lingkungan yang mendukung (supportive environment, now(), now()); (3) Memperkuat gerakan masyarakat (community action, now(), now()); (4) Mengembangkan kemampuan perorangan (personnal skills) ; dan (5) Menata kembali arah pelayanan kesehatan (reorient health services).
Konferensi II di Adelaide, Australia (1988), membahas lebih lanjut tentang pengembangan kebijakan yang berwawasan kesehatan, dengan menekankan 4 bidang prioritas, yaitu: (1) Mendukung kesehatan wanita; (2) Makanan dan gizi; (3) Rokok dan alkohol; dan (4) Menciptakan lingkungan sehat. Pada tahun 1989 diadakan pertemuan Kelompok Promosi Kesehatan negara-negara berkembang di Geneva, sebagai seruan untuk bertindak (A call for action). Dalam pertemuan ini ditekankan bahwa 3 strategi pokok promosi kesehatan untuk pembangunan kesehatan: (1) Advokasi Kebijakan (advocacy, now(), now()); (2) Pengembangan aliansi yang kuat dan sistem dukungan sosial (social support, now(), now()); dan (3) Pemberdayaan masyarakat (empowerment).
Selanjutnya pada tahun 1991 diselenggarakan Konferensi ke III di Sundval, Swedia. Konfrensi ini menghasilkan pernyataan perlunya dukungan lingkungan untuk kesehatan. Untuk dukungan ini diperlukan 4 strategi kunci, yakni: (1) Memperkuat advokasi diseluruh lapisan masyarakat; (2) Memberdayakan masyarakat dan individu agar mampu menjaga kesehatan dan lingkungannya melalui pendidikan dan pemberdayaan; (3) Membangun aliansi; dan (4) Menjadi penengah diantara berbagai konflik kepentingan di tengah masyarakat.
Ketiga konferensi internasional tersebut diselenggarakan di negara maju. Timbul pertanyaan apakah promosi kesehatan itu hanya sesuai untuk negara maju saja dan tidak cocok untuk negara berkembang? Untuk membantah keraguan itu, maka konferensi yang ke IV ini diselenggarakan di salah satu negara sedang berkembang. Indonesia memperoleh kehormatan untuk menjadi penyelenggaranya yang pertama.
Konferensi ke IV di Jakarta ini dihadiri oleh sekitar 500 orang dari 78 negara, termasuk sekitar 150 orang Indonesia, khususnya dari daerah. Ini karena konferensi tersebut juga merupakan konferensi nasional promosi kesehatan yang pertama (Selanjutnya nanti ada konferensi nasional kedua di Hotel Bidakara, Jakarta, tahun 2000, dan konferensi nasional ketiga di Yogyakarta, tahun 2003). Konferensi dibuka oleh Presiden RI, Bapak Soeharto, di Istana Negara. Selain pembicara-pembicara internasional, juga tampil pembicara Indonesia, yaitu Prof Dr. Suyudi selaku Menteri Kesehatan, dan Prof. Dr. Haryono Suyono, selain selaku Menteri Kependudukan juga sebagai pakar komunikasi. Pada acara Indonesia Day, tampil pembicara-pembicara dari berbagai program, sektor dan daerah, menyampaikan pengalamannya dalam berbagai kegiatan promosi kesehatan atau pendidikan kesehatan dalam program atau daerah masing-masing (diselenggarakan dalam sidang-sidang yang berjalan secara serentak/pararel).
Konferensi ini bertema: “New players for a new era: Leading Health Promotion into the 21st century” dan menghasilkan Deklarasi Jakarta, yang diberi nama: “The Jakarta Declaration on Health Promotion into the 21st Century”. Selanjutnya Deklarasi Jakarta ini memuat berbagai hal, antara lain sebagai berikut:

  • Bahwa Konferensi Promosi Kesehatan di Jakarta ini diselenggarakan hampir 20 tahun setelah Deklarasi Alma Ata dan sekitar 10 tahun setelah Ottawa Charter, serta yang pertama kali diselenggarakan di negara sedang berkembang dan untuk pertama kalinya pihak swasta ikut memberikan dukungan penuh dalam konferensi.

  • Bahwa Promosi Kesehatan merupakan investasi yang berharga , yang mempengaruhi faktor-faktor penentu di bidang kesehatan guna mencapai kualitas sehat yang setinggi-tingginya.

  • Bahwa Promosi Kesehatan sangat diperlukan untuk menghadapi berbagai tantangan dan perubahan faktor penentu kesehatan. Berbagai tantangan tersebut seperti: adanya perdamaian, perumahan, pendidikan, perlindungan sosial, hubungan kemasyarakatan, pangan, pendapatan, pemberdayaan perempuan, ekosistem yang mantap, pemanfaatan sumber daya yang berkelanjutan, keadilan sosial, penghormatan terhadap hak-hak azasi manusia, dan persamaan, serta kemiskinan yang merupakan ancaman terbesar terhadap kesehatan, selain masih banyak ancaman lainnya.

  • Bahwa untuk menghadapi berbagai tantangan yang muncul terhadap kesehatan diperlukan kerjasama yang lebih erat , menghilangkan sekat-sekat penghambat, serta mengembangkan mitra baru antara berbagai sektor, di semua tingkatan pemerintahan dan lapisan masyarakat.

  • Bahwa prioritas Promosi Kesehatan abad 21 adalah :
    1. Meningkatkan tanggungjawab sosial dalam kesehatan;

    2. Meningkatkan investasi untuk pembangunan kesehatan;

    3. Meningkatkan kemitraan untuk kesehatan;

    4. Meningkatkan kemampuan perorangan dan memberdayakan masyarakat;

    5. Mengembangkan infra struktur promosi kesehatan.

  • Selanjutnya menyampaikan himbauan untuk bertindak, dengan menyusun rencana aksi serta membentuk atau memperkuat aliansi promosi kesehatan di berbagai tingkatan, mencakup a.l. : (1) Membangkitkan kesadaran akan adanya perubahan faktor penentu kesehatan; (2) Mendukung pengembangan kerjasama dan jaringan kerja untuk pembangunan kesehatan; (3) Mendorong keterbukaan dan tanggungjawab sosial dalam promosi kesehatan.


Era Paradigma Sehat: Visi dan Misi Promosi Kesehatan

Pada tahun 1998 Presiden Soeharto digantikan oleh Presiden Habibie. Sebagai Menteri Kesehatan ditetapkan Prof. Dr. Farid Anfasa Moeloek. Setelah melalui persiapan antara lain pertemuan dengan para pakar, pertemuan nasional dengan daerah-daerah, pertemuan lintas sektor dan dengar pendapat dengan DPR, pada 1 Maret 1999 oleh Presiden Habibie dicanangkan : “Gerakan Pembangunan yang Berwawasan Kesehatan”, atau dikenal dengan “Paradigma sehat”. Sebagai konsekwensinya adalah bahwa semua pembangunan dari semua sektor harus mempertimbangkan dampaknya di bidang kesehatan, minimal harus memberi kontribusi dan tidak merugikan pertumbuhan lingkungan dan perilaku sehat. Disebutkan bahwa visi pembangunan kesehatan adalah: Indonesia Sehat 2010, dengan misi: (1) Menggerakkan pembangunan nasional yang berwawasan kesehatan; (2) Mendorong kamandirian masyarakat untuk hidup sehat; (3) Meningkatkan pelayanan kesehatan yang bermutu; dan (4) Meningkatkan kesehatan individu, keluarga dan masyarakat termasuk lingkungannya. Salah satu pilar Indonesia Sehat 2010 tersebut adalah : perilaku sehat, disamping dua pilar lainnya yaitu: lingkungan sehat dan pelayanan kesehatan yang bermutu, adil dan merata.
Ditetapkan pula strategi pembangunan kesehatan beserta program-program pokoknya. Dalam Program Pembangunan Nasional (PROPENAS) disebutkan bahwa salah satu program pokok pembangunan kesehatan adalah peningkatan perilaku sehat dan pemberdayaan masyarakat, yang karenanya menempatkan promosi kesehatan sebagai salah satu program unggulan. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 dan Rencana Strategis (Renstra) Depkes 2005-2009 juga disebutkan bahwa Promosi Kesehatan merupakan program tersendiri dan diposisikan pada urutan pertama. Ini menegaskan bahwa Paradigma Sehat dengan Visi Indonesia Sehat-nya tersebut sangat sesuai dengan Deklarasi Jakarta, dan dengan demikian promosi kesehatan (termasuk PHBS), yang berorientasi pada perilaku hidup sehat, semakin memperoleh pijakan yang kuat.
Selanjutnya masing-masing program termasuk Promosi Kesehatan menyusun visi, misi dan program kegiatannya, serta sasaran atau target yang harus dapat terukur. Dalam kaitan itu ditetapkan Visi Promosi kesehatan yaitu : Berkembangnya masyarakat Indonesia baru yang berbudaya sehat. Misinya adalah: (1) Melakukan advokasi kebijakan publik yang berdampak positif pada kesehatan; (2) Mensosialisasikan pesan-pesan kesehatan; (3) Mendorong gerakan-gerakan sehat di masyarakat; Strategi pokok Promosi Kesehatan disingkat ABG, yaitu :
(1) Advokasi, yaitu upaya untuk mempengaruhi kebijakan agar memberikan kontribusi pada pertumbuhan perilaku dan lingkungan sehat; (2) Bina Suasana, yaitu upaya pembentukan opini publik untuk mengembangkan norma hidup sehat; dan (3) Gerakan pemberdayaan masyarakat, yaitu upaya untuk menggerakkan dan memberdayakan semua komponen masyarakat untuk hidup sehat.
Dari visi, misi dan strategi tersebut direncanakan delapan kegiatan pokok, yaitu: (1) Upaya advokasi; (2) Pembinaan suasana; (3) Pemberdayaan masyarakat; (4) Pengembangan kemitraan; (5) Pengembangan SDM; (6) Pengembangan Iptek Promosi Kesehatan; (7) Pengembangan media dan sarana; (8) Pengembangan infra struktur Promosi kesehatan.
Visi, misi, strategi, kegiatan pokok beserta rincian kegiatan dan tolok ukurnya dan lain-lainnya dituangkan dalam pendoman tehnis Program Promosi Kesehatan. Kemudian hari dengan beberapa perbaikan dan penyempurnaan, pedoman tersebut dukukuhkan dengan SK Menteri Kesehatan RI menjadi Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan.



Promosi Kesehatan Di Era Reformasi Dan Desentralisasi

Lahirnya semangat reformasi yang ditingkahi dengan terjadinya pergantian pemerintahan pada tahun 1998 telah membawa perubahan fundamental dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Angin reformasi yang bertiup kencang sejak lengsernya Presiden Soeharto memperoleh wadahnya dalam sidang-sidang MPR, yang merupakan lembaga tertinggi negara. Akhirnya dilakukan amandemen terhadap UUD 1945, sesuatu yang “diharamkan” pada era sebelumnya. Amandemen tersebut bahkan dilakukan beberapa kali, antara lain menyangkut tentang penghapusan lembaga Dewan Pertimbangan Agung, dibentuknya Mahkamah Konstitusi, ada Dewan Perwakilan Daerah (DPD), pemilihan Presiden dan Wakil Presiden RI secara langsung oleh rakyat, dll.
Salah satu perubahan yang mendasar adalah bergantinya sistem pemerintahan sentralisasi menjadi desentralisasi, atau otonomi daerah. Semangat inilah yang mengilhami diundangkannya UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah serta UU No. 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah yang diberlakukan pada tahun 2001. Sesuai dengan UU tersebut, maka Gubernur, Bupati dan Walikota kini dipilih langsung oleh rakyat dan karenanya mempunyai kewenangan yang sangat menentukan, termasuk dalam penentuan organisasi daerah, jabatan dan personilnya. Sementara itu lembaga legislatif, baik DPR di Pusat maupun DPRD di daerah mempunyai kewenangan yang lebih besar (bahkan sangat besar) dalam penyusunan anggaran keuangan baik Pusat maupun Daerah. Berkaitan dengan itu, partai-partai politik mempunyai peranan yang sangat menentukan, melalui wakil-wakilnya yang duduk di pemerintahan (ekskutif) dan lembaga perwakilan (legislatif), baik di Pusat maupun di daerah.
Untuk mengantisipasi hal ini Departemen Kesehatan dalam hal ini Promosi Kesehatan menyelenggarakan pertemuan dengan Bupati dan Walikota seluruh Indonesia pada bulan Juli 2000 yang menyepakati tentang perlunya perhatian Daerah secara lebih sungguh-sungguh terhadap program kesehatan, kelembagaan, ketenagaan serta anggaran yang mendukungnya. Berbagai pertemuan khusus untuk menjelaskan dan mendiskusikan tentang Paradigma Sehat dan Visi Indonesia sehat 2010 juga diselenggarakan kepada partai-partai politik dan anggota DPR kkhususnya komisi yang mengurusi bidang kesehatan.
Demikian pula dengan tujuan yang sama beberapa kali pertemuan khusus juga digelar di daerah, paling tidak di beberapa propinsi, seperti Banten, Sumatera Selatan, Bangka Belitung, Sumatera Barat, dll. Belum lagi panduan tertulis tentang penanganan program-program kesehatan termasuk promosi kesehatan di daerah.
Selanjutnya dalam rangka desentralisasi dan otonomi daerah, setelah dilakukan pembahasan dan sosialisasi dengan daerah, telah ditetapkan Keputusan Menteri Kesehatan tentang Stándar Pelayanan Minimal (SPM) bidang Kesehatan di Kabupaten/Kota. Salah satu SPM bidang kesehatan tersebut adalah tentang Penyuluhan perilaku sehat, yang harus mencakup setidaknya: Rumah tangga sehat (65%) dan Desa Posyandu Purnama (40%). Selain itu juga ditetapkan bahwa promosi kesehatan merupakan salah satu pelayanan yang wajib dilakukan di Puskesmas.



Pengembangan Jaringan Dan Kemitraan

Pada era ini juga ditandai dengan berkembangan jaringan (networking) dan kemitraan (partnership) antara unit promosi kesehatan dengan berbagai pihak, baik sektor pemerintah maupun swasta dan masyarakat, baik regional maupun global.
Secara nasional dapat disebutkan a.l. : (1) Forum Komunikasi Promosi Kesehatan, yang anggotanya adalah unit atau lembaga (pemerintah dan masyarakat) yang peduli dengan upaya promosi kesehatan; (2) Koalisi Indonesia Sehat (anggota: berbagai unit pemerintah dan swasta serta masyarakat yang peduli pada Indonesia Sehat, now(), now()); (3) Forum Komunikasi Penanggulangan Masalah Tembakau (anggota: unit, organisasi profesi dan lembaga peduli masalah rokok/tembakau, now(), now()); (4) Jaringan Penanggulangan Penyakit Tidak Menular; (5) Dan lain-lain, seperti: Forum Pengembangan Kota Sehat, Forum Penanggulangan Penyakit TBC, dll.
Secara regional dan global dapat disebutkan: Mega country Health Promotion Network, yaitu jaringan sekitar 10 negara di dunia yang berpenduduk 100 juta lebih dalam bidang promosi kesehatan; International Network for Health Promotion Foundation (Indonesia diwakili oleh Unit Promkes sebelum mempunyai Yayasan Promosi Kesehatan yang mandiri, now(), now()); International Union for Health Promotion and Education (organisasi profesi Promosi kesehatan yang bersifat internasional), dll. Dalam kaitan itu diselenggarakan beberapa kali pertemuan internasional (di Geneva, Jakarta, Meksiko, Bangkok, Melbourne, dll).
Dalam rangka pengembangan jaringan dan kemitraan itu maka sejak tahun 2000, penyelenggaraan Hari Kesehatan Nasional dilakukan bersama oleh swasta dan sektor di luar Depkes, sedangkan Depkes dalam hal ini Promosi Kesehatan berperan sebagai sekretariatnya. Dengan penyelenggaraan oleh swasta itu terasa bahwa Hari Kesehatan lebih bergema. Demikianlah maka sejak tahun 2000, pada setiap acara puncak HKN Presiden RI (yaitu Gus Dur, Mbak Mega dan Pak SBY) selalu hadir dan menyampaikan pesan-pesan kesehatan yang diliput oleh media massa secara luas.



SKN 2004 dan Promosi Kesehatan

Pada tahun 2004 oleh Menteri Kesehatan (Dr. Achmad Sujudi) ditetapkanlah Sistem Kesehatan Nasional (SKN) yang baru, sebagai pengganti SKN lama (tahun 1982). SKN baru ini dimaksudkan antara lain untuk mempertegas makna pembangunan kesehatan dalam rangka pemenuhan hak asasi manusia dan memperjelas penyelenggaraan pembangunan kesehatan sesuai visi dan misinya.
Disebutkan bahwa SKN adalah suatu tatanan yang menghimpun berbagai upaya Bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung, guna menjamin derajat kesehatan yang setinggi-tingginya sebagai perwujudan kesejahteraan umum seperti dimaksud dalam Pembukaan UUD 1945. Sedangkan pada hakekatnya SKN adalah juga merupakan wujud dan sekaligus metode penyelenggaraan pembangunan kesehatan, yang memadukan berbagai upaya Bangsa Indonesia dalam satu derap langkah guna menjamin tujuan pembangunan kesehatan. Sedangkan tujuannya adalah terselenggaranya pembangunan kesehatan oleh semua potensi bangsa, baik masyarakat, swasta maupun pemerintah secara sinergis, berhasil guna dan berdaya guna, sehingga tercapai derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya.
Apa kaitannya dengan Promosi Kesehatan? Dalam SKN tersebut disebutkan adanya 7 prinsip dasar. Prinsip ke 4 adalah Prinsip Pemberdayaan dan Kemandirian Masyarakat, dan prinsip ke 5 adalah Prinsip Kemitraan. Tanpa mengurangi arti upaya kesehatan lainnya, kedua prinsip tersebut sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup upaya promosi kesehatan. Selain itu SKN ini terdiri 6 subsistem, salah satunya adalah; Subsistem Pemberdayaan Masyarakat. Disebutkan bahwa Subsistem pemberdayaan masyarakat adalah tatanan yang menghimpun berbagai upaya perorangan, kelompok dan masyarakat umum di bidang kesehatan secara terpadu dan saling mendukung guna menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Sedangkan tujuannya adalah terselenggaranya upaya pelayanan, advokasi dan pengawasan sosial oleh perorangan, kelompok dan masyarakat di bidang kesehatan dsn seterusnya. Subsistem Pemberdayaan Masyarakat dengan segala uraiannya itu tentu saja merupakan ranah (domein) Promosi Kesehatan.



Promosi Kesehatan Pada Program-program Kesehatan

Sebenarnya pada setiap program kesehatan ada komponen promosi kesehatannya, karena semua masalah kesehatan mengandung komponen perilaku. Namun karena keterbatasan sumberdaya, pada kurun waktu ini secara nasional, promosi kesehatan terbatas pada beberapa program prioritas saja. Program-program kesehatan tersebut adalah: Kesehatan Ibu, Bayi dan Anak (Khususnya Pertolongan persalinan dan Penggunaan ASI Eklusif), Peningkatan Gizi Keluarga dan Masyarakat (termasuk GAKY), Kesehatan Lingkungan (khususnya penggunaan air bersih, penggunaan toilet/jamban, mencuci tangan dengan sabun), Penanggulangan Penyakit Tidak Menular (khususnya Aktivitas fisik, makan gizi seimbang dan masalah merokok), Penanggulangan penyalahgunaan NAPZA, dan Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM). Di daerah, prioritas program tersebut disesuaikan dengan keadaan, masalah dan potensi daerah.
Selain itu juga dilakukan promosi kesehatan untuk mendukung beberapa program khusus. Sebagai contoh adalah kampanye Pekan Imunisasi Nasional (dalam rangka penanggulangan polio). Demikian pula dalam penanggulangan HIV/AIDS yang dilakukan promosi kesehatan secara lintas sektoral, juga dalam menghadapi SARS. Selain itu dilakukan pula promosi kesehatan dalam rangka penanggulangan masalah tembakau, promosi penggunaan obat generik, dll. Perlu diakui bahwa masih banyak promosi kesehatan untuk berbagai program kesehatan lainnya yang belum dapat tertangani.



Era Globalisasi Dan Promosi Kesehatan

Kurun waktu 2000 an ini juga merupakan era globalisasi. Batas-batas antar negara menjadi lebih longgar. Persoalan menjadi lebih terbuka. Berkaitan dengan era globalisasi ini dapat menimbulkan pengaruh baik positif maupun negatif. Di satu pihak arus informasi dan komunikasi mengalir sangat cepat. Ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat. Dunia menjadi lebih terpacu dan maju. Di pihak lain penyakit menular yang ada di satu negara dapat menyebar secara cepat ke negara lain apabila negara itu rentan atau rawan. Misalnya AIDS, masalah merokok, penyalahgunaan NAPZA, dll sudah menjadi persoalan dunia. Demikian pula budaya negatif di satu bangsa/negara dengan cepat juga dapat masuk dan mempengaruhi budaya bangsa/negara lain.
Sementara itu khususnya di bidang Promosi Kesehatan, dalam era globalisasi ini Indonesia memperoleh banyak masukan dan perbandingan dari banyak negara. Melalui berbagai pertemuan internasional yang diikuti, setidaknya para delegasi memperoleh inspirasi untuk mengembangkan promosi kesehatan di Indonesia. Beberapa pertemuan itu adalah sebagai berikut :

  1. Konferensi Internasional Promosi Kesehatan. Konferensi ini bersifat resmi, para utusannya diundang oleh WHO dan mewakili negara. Selama kurun waktu 1995-2005 ada tiga kali konferensi internasional, yaitu: the 4th International Conference on Health Promotion, Jakarta, 1997, the 5th International Conference on Health Promotion, Mexico City, 2000, dan the 6th Global Conference on Health Promotion, Bangkok, 2005. Pada pertemuan di Bangkok istilah International Conference diganti dengan Global Conference, a.l. karena dengan istilah “Global” tersebut menunjukkan bahwa sekat-sekat antar negara menjadi lebih tipis dan persoalan serta solusinya menjadi lebih mendunia. Menkes RI yang hadir pada konferensi di Jakarta adalah Prof. Dr. Suyudi yang juga menjadi pembicara kunci pada konferensi tersebut; di Mexico City: Dr. Achmad Suyudi, yang juga menjadi salah satu pembicara kunci dan bersama para menteri kesehatan dari negara-negara lain ikut menandatangani “Mexico Ministerial Statements on health Promotion”; dan yang hadir di Bangkok adalah Drs. Richard Panjaitan, Staf Ahli yang mewakili Menteri Kesehatan yang harus berada di tanah air menjelang peringatan proklamasi kemerdekaan RI. Konferensi di Bangkok ini menghasilkan “The Bangkok Charter”. Ketiga konferensi tersebut baik proses maupun hasil-hasilnya memberikan sumbangan yang bermakna dalam perkembangan promosi kesehatan di Indonesia.

  2. Konferensi internasional Promosi dan Pendidikan Kesehatan. Konferensi ini bersifat keilmuan. Utusannya datang atas kemauan sendiri dengan mendaftar lebih dahulu. Penyelenggaranya adalah Organisasi Profesi, yaitu International Union for Health Promotion and Education. Dalam kurun waktu ini sebenarnya ada empat kali pertemuan, tetapi Indonesia hanya hadir di tiga pertemuan yaitu di Ciba, Jepang, tahun 1995, di Paris, Perancis, tahun 2001, dan Melbourne, Australia, 2004. Indonesia tidak hadir pada pertemuan di Pourtorico, tahun 1998, karena situasi tanah air yang tidak memungkinkan untuk pergi. Dengan mengikuti konferensi seperti ini, selain menambah wawasan dan gagasan, juga menambah teman dan jaringan.

  3. Pertemuan-pertemuan WHO tingkat regional dan internasional. Pertemuan seperti ini biasanya diikuti oleh kelompok terbatas, antara 20-30 orang. Sifatnya merupakan pertemuan konsultasi atau juga pertemuan tenaga ahli (expert). Pesertanya adalah utusan yang mewakili unit Promosi Kesehatan di masing-masing negara, atau perorangan yang dianggap ahli, yang diundang oleh WHO. Dalam kurun waktu 1995-2005 beberapa kali diselenggarakan pertemuan konsultasi di New Delhi, India, di Bangkok, Thailand, di Jakarta, Indonesia, dan beberapa kali di Genewa, Swis, khususnya dalam kaitannya dengan Mega Country Health Promotion Network. Pertemuan-pertemuan seperti ini juga memacu perkembangan promosi kesehatan di Indonesia. Khusus dalam Mega country network ini diupayakan penanggulangan penyakit tidak menular secara bersama melalui upaya aktivitas fisik, makan gizi seimbang dan tidak merokok.

  4. Pertemuan regional ASEAN. Pertemuan ini diselenggarakan oleh negara-negara anggota ASEAN. Pertemuan seperti ini diselenggarakan beberapa kali, tetapi yang menyangkut promosi kesehatan diselenggarakan pada tahun 2002 di Vientiane, Laos. Pertemuan ini menghasilkan Deklarasi Vientiane atau Kesepakatan Menteri Kesehatan ASEAN tentang “Healthy ASEAN Lifestyle” (antara lain ditandatangani oleh Dr. Achmad Suyudi selaku Menkes RI) yang pada pokoknya merupakan kesepakatan untuk mengintensifkan upaya-upaya regional untuk meningkatkan gaya hidup sehat penduduk ASEAN. Dalam kesepakatan itu ditetapkan antara lain tentang visinya, yaitu bahwa pada tahun 2020 semua penduduk ASEAN akan menuju kehidupan yang sehat, sesuai dengan nilai, kepercayaan dan budaya lingkungannya.

  5. Pertemuan-pertemuan internasional atau regional lainnya, seperti: International Conference on Tobacco and Health di Beijing, 1997; International Conference on Working Together for better health di Cardiff, UK, 1998; dan masih banyak pertemuan lainnya, misalnya tentang HIV/AIDS di Bangkok, Manila, dll; pertemuan tentang kesehatan lingkungan di Nepal; pertemuan tentang Health Promotion di Bangkok, di Melbourne, dll. Ini semua memperkuat jaringan dan semakin memantapkan langkah di Indonesia.

Selain itu, Indonesia juga banyak menerima kunjungan persahabatan dari negara-negara sahabat, kebanyakan dari negara-negara yang sedang berkembang seperti dari Bangladesh, India, Myarmar, Sri Langka, Maladewa (Maldives) dan beberapa negara di Afrika. Dalam kesempatan diskusi di kelas maupun kunjungan lapangan, mereka juga sering memberi masukan dan perbandingan tentang kegiatan promosi kesehatan.

Promosi kesehatan melalui berbagai media

Sebagaimana upaya promosi pada umumnya, Promosi kesehatan tidak dapat dipisahkan dengan upaya untuk mempromosikan atau menjajagakan sesuatu yang berupa kesehatan. Kesehatan memang sesuatu yang sebenarnya sangat diperlukan oleh masyarakat, tetapi masyarakat belum banyak yang memandangnya sebagai prioritas. Maka benar sekali ungkapan Dr. Mahler, Dirjen WHO pada sekitar tahun 1985-an bahwa: “Health is not everything, but without health everything else is nothing”. Selain itu kesehatan juga merupakan karunia Tuhan yang perlu disyukuri. Karenanya perlu dijaga dan ditingkatkan kualitasnya. Oleh karena itu seharusnya diperlukan promosi yang gencar untuk menjajakan kesehatan itu.
Upaya mempromosikan kesehatan itu antara lain dilakukan melalui berbagai media. Baik media cetak, elektronik maupun media luar ruang. Dalam hal ini media diposisikan sebagai sarana untuk membuat suasana yang kondusif terhadap perubahan perilaku yang positif terhadap kesehatan. Dalam bahasa promosi kesehatan, upaya tersebut disebut dengan: “bina suasana”.
Melalui media cetak telah dikembangkan berbagai leaflet, brosur, poster, kalender, dan lain-lain. Setiap tahun unit Promosi Kesehatan memproduksinya, terutama sebagai semacam “proto type” agar dapat dikembangkan lebih lanjut oleh daerah atau unit yang lain yang memerlukannya, sesuai dengan keadaan, masalah dan potensi setempat.Juga dikembangkan “Logo Indonesia Sehat” yang dihasilkan melalui lomba. Dalam rangka memfasilitasi penyelenggaraan promosi kesehatan di daerah, disusunlah berbagai panduan, seperti: Panduan advokasi, panduan bina suasana, panduan pemberdayaan masyarakat dan panduan pengembangan kemitraan.
Selain itu Pusat Promosi Kesehatan juga menerbitkan majalah: “Interaksi” yang terbit 3-4 kali setahun. Majalah itu merupakan forum untuk tukar menukar informasi, baik yang berkaitan dengan ide/gagasan (disebut inter ide) , maupun hal-hal lain (melalui rubrik: inter nest, inter info, inter fokus, inter kajian, inter program, inter studi, inter etika, inter iman, dll). Alamat email redaksi majalah Interaksi adalah: interaksi@hotmail.com, atau promkes@depkes.go.id. Kemudian juga ada majalah khusus GAKY, yang berkaitan dengan informasi tentang Penanggulangan GAKY (Gangguan Akibat Kekurangan Yodium),
Selanjutnya melalui media luar ruang, dikembangkan prototype baliho, misalnya mengenai Garam Yodium, Penanggulangan Masalah Rokok, dll. Beberapa pesan tentang masalah rokok sampai sekarang masih terpampang di halaman parkir dan pintu masuk Dep-kes. Mobil jemputan pegawai Depkes yang melewati jalan-jalan utama Jakarta juga pernah dipasangi pesan-pesan kesehatan. Dan setiap Hari Kesehatan Nasional dan hari-hari tertentu lainnya, Pusat Promosi Kesehatan bekrjasama dengan pihak-pihak lain juga menyelenggarakan pameran kesehatan.
Sedangkan melalui media elektronik, dilakukan promosi atau bina suasana melalui televisi, radio, dll. Antara lain sinetron Kupu-kupu ungu (13 episode) dan beberapa film lepas yang sudah disampaikan pada bab IV. Selanjutnya juga dilakukan penyampaian pesan melalui ”radio spot”, ”TV spot” atau ”filler” mengenai berbagai macam program. Salah satunya yang cukup terkenal pada waktu itu adalah dengan judul: ”Jangan Lupa” yang disampaikan oleh Butet Kertajaya dengan kocaknya. Juga diproduksi filler tentang Penanggulangan GAKY, Ibu Hamil, Napza/Narkoba, Gizi, Gaya Hidup Sehat, dll, serta khususnya tentang Pekan Imunisasi Nasional yang dibawakan oleh kelompok Rano Karno dan Mandra dengan sangat kocaknya.
Sebagaimana disampaikan pada bab IV, pesan-pesan kesehatan yang disebar luaskan melalui media televisi itu beberapa cukup berhasil membina suasana dan mengajak masyarakat untuk berbuat sesuatu. Namun beberapa juga ada yang kurang mendapat sambutan masyarakat. Pada umumnya orang tahu bahwa tayangan melalui teleivisi itu biayanya sangat mahal. Sementara itu pada saat ini pilihan saluran TV cukup banyak, sehingga upaya penyebar luasan informasi melalui televisi ini perlu dihitung dengan cermat plus minusnya.
Selanjutnya juga diproduksi kaset dan VCD, berisi lagu, film atau pesan lainnya, yang kemudian disebar luaskan ke daerah dan media. Dikembangkan pula pesan melalui internet, dengan kode: www.promosikesehatan.com, dan untuk interaksi dapat digunakan email dengan kode: pa@promosikesehatan.com.



Profil Promosi Kesehatan 2003

Promosi Kesehatan adalah upaya yang menekankan pada proses dengan tetap memperhatikan hasil (the process as well as content). Beberapa hal yang dapat dicatat sebagai profil promosi kesehatan, secara rinci dapat dilihat di buku : Profil Promosi Kesehatan 2003, sedangkan secara garis besar adalah sebagai berikut:

  1. Dalam upaya advokasi, telah dihasilkan beberapa keputusan yang menyangkut kebijakan yang berkaitan dengan: “social enforcement” garam beryodium, kawasan tanpa rokok, kabupaten/kota sehat, program langit biru, dll. Selain itu sekitar 20 provinsi juga telah mengeluarkan Surat Keputusan atau Edaran yang berkaitan dengan PHBS, garam yodium, penanggulangan AIDS, Kawasan Tanpa Rokok, dll.

  2. Dalam upaya bina suasana atau pembentukan opini masyarakat untuk membudayakan perilaku sehat telah dilakukan penyebaran informasi kesehatan, melalui media televisi, radio, media cetak, pameran, media luar ruang lainnya, penyuluhan melalui mobil-mobil unit penyuluhan dan penyuluhan melalui kelompok dan diskusi interaktif. Penyebaran informasi kesehatan itu dilakukan baik di Pusat maupun Daerah, tentang berbagai topik, masalah atau program kesehatan, seperti: GAKY, AIDS, Gaya Hidup Sehat, dll, termasuk kampanye tentang penanggulangan dampak pengurangan subsidi energi.

  3. Dalam upaya pengembangan perilaku hidup sehat, 30 provinsi melaporkan telah mengembangkan PHBS di berbagai tatanan: jumlah kumulatifnya sebanyak 7.5 juta lebih di tatanan rumah tangga, 53 ribu lebih di tatanan sekolah (SD, SMP, SMU), 260 ribu lebih di tempat kerja (kantor pemerintah, kantor swasta, pabrik), 26 ribu lebih di tatanan tempat umum (terminal, pelabuhan, pasar), dan 5 ribu lebih di tatanan sarana kesehatan (pemerintah dan swasta).

  4. Dalam upaya peningkatan kemitraan untuk meningkatkan efektivitas dsan efisiensi upaya promosi kesehatan, dilakukan berbagai kegiatan, seperti: reorientasi LSM termasuk di provinsi, sosialisasi Indonesia Sehat ke partai politik, organisasi kemasyarakatan dan wartawan, pertemuan-pertemuan lintas program dan lintas sektor, juga berbagai pertemuan bersama LSM, Sektor Swasta, Organisasi Profesi, Ormas Kepemudaan, Ormas Wanita, Ormas Keagamaan, dll.

  5. Pengembangan SDM Promosi Kesehatan, baik bagi pengelola program maupun pelaksana di lapangan, termasuk tokoh masyarakat dan kader. Dalam kaitan itu pada tahun 2002 tercatat ada 54 tenaga promosi kesehatan di Pusat dan beberapa daerah mengikuti pendidikan formal (D3, S1 dan S2). Sedangkan tenaga yang mengikuti pelatihan tentang promkes dalam tahun 2002 itu tidak kurang dari 600 orang, berasal dari Pusat dan sedikitnya dari 20 provinsi. Selain itu juga telah ditetapkan sebanyak 856 orang tenaga jabatan profesional penyuluh kesehatan (98 orang ahli dan 758 orang terampil), baik di Pusat maupun di daerah.


  6. Dalam upaya pengembangan metode dan teknik promosi kesehatan, antara lain dihasilkan: Promosi kesehatan (Promkes) di kawasan pariwisata, Promkes di perusahaan, Promkes dalam era desentralisasi, Promkes dalam pemberdayaan keluarga, Pengembangan Kawasan Tanpa Rokok, Promkes di pondok pesantren, Pengembangan Kota Sehat, Pemanfaatan Dana Sosial dan Keagamaan untuk Kesehatan, dll.

    Yang juga perlu disebutkan di sini adalah: Pengembangan Sistem Surveilans Perilaku Beresiko Terpadu (yang dipandang sebagai surveilans generasi kedua, setelah surveilans penyakit) dan Pengembangan Sistem Informasi PHBS di berbagai tatanan.
  7. Pengembangan media dan sarana promkes, antara lain pengembangan studio mini dan mobil unit penyuluhan di Pusat dan 5 provinsi proyek Kesehatan Keluarga dan Gizi beserta sarana kelengkapannya, serta berbagai prototype media di Pusat untuk kemudian dikembangkan di daerah. Dikembangkan pula media interaksi baik melalui majalah tiga bulanan maupun melalui internet.

  8. Pengembangan infra struktur khususnya yang menyangkut organisasi dan kelembagaan, serta penganggaran, hasilnya mengalami pasang surut. Demikian pula yang terjadi di daerah, ada yang muncul dan ada yang terintegrasi dengan unit lain, sesuai dengan potensi, keadaan dan perkembangan di daerah. Di beberapa daerah juga dibentuk Badan Koordinasi Promosi Kesehatan Provinsi, seperti yang terjadi di Sumatera Utara, Jawa Barat, DIY dan Lampung.


Selain itu dapat disampaikan bahwa pengembangan anggaran biaya untuk kegiatan promosi kesehatan selama ini mengalami fluktuasi. Pada awal Repelita I sampai VI tersedia dana melalui APBN termasuk bantuan luar negeri yang jumlahnya belum memadai. Namun belakangan ini pada masa reformasi terjadi peningkatan anggaran yang cukup besar, baik yang berasal dari APBN maupun APBD bagi daerah otonom.

Promosi Kesehatan Berjalan di tempat?

Pada era promosi kesehatan dalam kurun waktu 1995-2005 ini, nampaknya banyak yang dilakukan, tetapi hasilnya perlu banyak diberi tanda tanya. Visi Indonesia Sehat belum bergema. Paradigma Sehat baru di tataran konsep dan retorika. Kenyataan sehari-hari masih kental dengan paradigma lama. Dalam pembangunan kesehatan, promosi Kesehatan belum memberikan sumbangan nyata. Berbagai gerakan masyarakat yang telah dicanangkan Presiden, misalnya Gerakan Jumat Bersih, tidak berjalan sesuai rencana. Beberapa kesepakatan juga belum ditindak lanjuti secara nyata. Forum jejaring dengan para mitra belum optimal perkembangannya. Tenaga Promkes juga masih belum profesional sepenuhnya. Di daerah tenaga promkes banyak yang harus mutasi secara terpaksa atau harus pindah posnya. Yang jelas: Masyarakat miskin belum dapat dientaskan dari derita. Sedangkan masyarakat lainnya masih jauh dari budaya sehat, hidup yang produktif dan sejahtera.
Apabila ditelaah, mengapa demikian? Banyak pakar menyoroti bahwa dalam kurun waktu sekitar tahun 2000an itu bangsa kita kurang mempunyai spirit perjuangan. Kita banyak terpaku dengan proyek dan anggaran. Ada juga pakar yang menyatakan bahwa sedikitnya 30 % anggaran bocor di tengah jalan. Dari sekian banyak kegiatan hanya sedikit sekali yang benar-benar langsung dan memberikan perhatian kepada rakyat kecil di lapangan. Dengan demikian kepentingan masyarakat khususnya rakyat miskin banyak terabaikan. Keadaan seperti itu juga berpengaruh pada kegiatan promosi kesehatan. Informasi sederhana yang seharusnya sangat diperlukan rakyat agar dapat hidup sehat, kurang mereka dapatkan. Bimbingan lapangan bagaimana agar dapat berperilaku sehat dan terhindar penyakit, kurang mereka rasakan. Banyak masyarakat masih berkutat dengan berbagai faktor yang sangat mempengaruhi kesehatan, seperti pendidikan, keamanan, dan lain-lain terutama kemiskinan.
Selain itu juga harus diakui bahwa promosi kesehatan masih kurang sigap dalam menghadapi peluang dan kesempatan. Konsistensi kegiatan juga sering terabaikan. Prioritas kegiatan juga sering tidak memperoleh kejelasan. Belum lagi etos kerja petugas yang masih perlu terus menerus ditingkatkan. Dengan demikian banyak masalah yang belum terselesaikan dan tantangan yang belum memperoleh jawaban.
Maka apakah promosi kesehatan hanya berjalan di tempat saja? Atau bahkan menurun jalannya? Semoga saja tidak demikian kenytaannya. Karena kita semua telah berbuat! Konon yang sangat penting adalah selalu usaha dan berbuat, atau proses itu! Tentang hasil, kita serahkan kepada halayak dan Truhan! Yang penting lagi bahwa semuanya itu merupakan pembelajaran untuk dapat ditarik makna dan hikmahnya. Paling tidak masih mempunyai impian, karena mimpi itu juga merupakan harapan dan cita-cita. Kalau tidak mempunyai mimpi, sebagaimana disampaikan di awal bab ini, jangan-jangan nanti kita tidak akan memperoleh apa-apa, bahkan tidak tahu akan menuju ke mana …






DINAMIKA ORGANISASI PROMOSI KESEHATAN
Dari Bahagian Pendidikan Kesehatan sampai Pusat Promosi Kesehatan





Struktur vs Fungsi Organisasi

Topik organisasi mencakup ruang lingkup yang luas, termasuk didalamnya pemahaman visi, misi, struktur organisasi, dan tugas pokok serta fungsi organisasi itu sendiri. Kemudian dari situ akan lahir kebutuhan terhadap kuantitas serta kualitas sumber daya manusianya.
Peran organisasi dalam perkembangan dan pertumbuhan sebuah profesi merupakan hal yang sangat penting. Di alam dan semangat negara demokrasi, struktur organisasi yang ada, bukan hanya merupakan cerminan dari visi dan misi yang ingin dicapai oleh profesi itu sendiri, tetapi juga merupakan cerminan visi dan misi yang ingin diraih oleh bangsa itu secara keseluruhan. Demikian juga peran pendidikan kesehatan di Indonesia, akan senantiasa merupakan gambaran dari pemahaman dan kebutuhan bangsa Indonesia terhadap hal tersebut dengan memperhatikan berbagai kendala yang dihadapinya. Sejarah perkembangan organisasi pendidikan kesehatan di Indonesia telah membuktikan hal tersebut, melalui rangkaian naik turunnya oganisasi, tumbuh kembangnya organisasi dilingkungan Departemen Kesehatan.
Disebutkan naik turunnya organisasi, karena memang dalam perkembangannya ada saat dimana organisasi pendidikan kesehatan di Indonesia berada pada posisi cukup tinggi, tetapi kemudian merosot turun kepada status tingkatan yang cukup rendah. Posisi cukup tinggi pernah diraih oleh organisasi Pendidikan Kesehatan di Indonesia pada saat bangsa Indonesia baru merebut dan mendeklarasikan kemerdekaannya pada tahun 1945. Periode awal kemerdekaan bangsa Indonesia merupakan masa transisi dalam berbagai aspek kehidupan, dan hal tersebut tercermin dalam tatanan organisasi yang dikembangkannya.



Bahagian Pendidikan Kesehatan Yang Setara Eselon I?

Pada tahun 1950, ketika pemerintah Indonesia menyusun kabinetnya, terwujudlah gagasan untuk membentuk Kementrian Kesehatan. Dorongan semangat kemerdekaan yang menggelora dan keinginan untuk mewujudkan kehidupan masyarakat makmur yang masih menggebu-gebu, telah berhasil menuntun para pengambil keputusan pada waktu itu untuk mewujudkan organisasi Bahagian Pendidikan Kesehatan untuk rakyat dilingkungan Kementrian Kesehatan. Makna yang tersurat dan tersirat dari keputusan ini, adalah pemberian dan pengakuan status organisasi yang tinggi telah diberikan oleh pemerintah dan rakyat Indonesia itu kepada masalah pendidikan kesehatan. Memang benar dapat dipahami pilihan tersebut, mengingat kondisi rakyat Indonesia pada tahun ‘50an tersebut baik dalam aspek kesehatan maupun pendidikan masih sangat jauh tertinggal jika dibandingkan dengan negara lainnya, apalagi jika harus mengacu kepada standar derajat kesehatan yang baku.
Status organisasi Bahagian Pendidikan Kesehatan yang bertanggung jawab langsung kepada Menteri Kesehatan tersebut, dapat dikatakan setara dengan jabatan eselon I pada tatanan organisasi pemerintah Indonesia sekarang. Dalam kondisi negara dan pemerintahan yang normal, dengan status yang demikian tinggi, sesungguhnya banyak hal yang dapat dilakukan untuk pengembangan dan penyelenggaraan pendidikan kesehatan bagi rakyat Indonesia. Namun karena nuansa politik pada saat itu masih sangat dominan, seperti isu negara kesatuan versus federal, masalah keamanan dan keutuhan negara, peralihan dari suasana administrasi pemerintahan penjajahan kepada administrasi sebuah negara yang bebas dan merdeka, maka status tersebut belum dapat dimanfaatkan secara optimal. Disamping itu kendala tidak atau belum tersedianya sumber daya, baik sumber daya manusia (kuantitas dan kualitas) maupun sumber daya biaya mendorong rendahnya pemanfaatan status yang demikian tinggi tersebut terhadap organisasi pendidikan kesehatan.
Namun demikian berkembangnya Pendidikan Kesehatan Rakyat dengan beberapa daerah percontohan, antara lain di Lemah Abang, Bekasi, adalah produk pada masa ini. Pendidikan Kesehatan juga diakui harus ada dan terintegrasi pada setiap program kesehatan. Keadaan ini terus berkembang sampai sekitar tahun 1967,waktu ditetapkannya susunan organisasi Depkes yang baru, dibawah Menteri G.A.Siwabessy.



Menjadi Bagian PKM Di Biro Pendidikan

Pada tahun 1967 Menteri Kesehatan Siwabessy, dengan Surat Keputusan No. 091/III/Ad.Um/’67, menetapkan susunan organisasi Depkes yang baru. Dalam struktur organisasi tersebut unit yang mengurusi Pendidikan Kesehatan Masyarakat (PKM) ditetapkan sebagai salah satu bagian di bawah Biro V (Pendidikan), yang berada di bawah Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan. Bagian-bagian lain yang berada dalam Biro V itu antara lain adalah: Bagian Pendidikan Institusi, Bagian Perrpustakaan, dll. Sebagai suatu bagian, maka Bagian PKM tersebut setara dengan eselon III. Sebagai kepala bagian PKM ditetapkan Drs. Koento Hidayat, sedangkan sebagai kepala biro V adalah: Dr. Wiryawan Djoyosugito, MPH.
Status organisasi yang setara dengan eselon III di lingkungan Sekretariat Jenderal Departemen Kesehatan tersebut memberikan implikasi dua hal penting. Pertama bahwa unit pendidikan kesehatan merupakan unit kerja yang memiliki kewenangan dan ruang lingkup kerja yang lebih terbatas. Kedua, unit tersebut tidak memiliki akses untuk menyelenggarakan kegiatan operasional pendidikan kesehatan termasuk pembinaan kedaerah atau lapangan.



Berbagai Gagasan Pembaruan

Dalam sejarah perkembangan organisasi pendidikan kesehatan di Indonesia, posisi yang setara dengan eselon III di lingkungan Departemen Kesehatan tersebut, merupakan posisi paling rendah dari berbagai posisi organisasi yang pernah ada. Namun justru dari posisi organisasi seperti itu, telah lahir berbagai gagasan dan produk monumental yang merupakan bagian penting dari sejarah perkembangan pendidikan kesehatan di Indonesia. Paling tidak unit tersebut tentu telah memberikan sumbangan pemikiran dan/atau merupakan wadah penggodokan kegiatan operasional dari gagasan yang dikembangkan waktu itu.
Berkantor di kawasan Hang Jebat IV, Kebayoran Baru (kini menjadi kantor Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Departemen Kesehatan), Bagian PKM, sebagai salah satu Bagian yang berada di bawah bimbingan dan pembinaan Biro V, melakukan tugas dan fungsinya, untuk mengembangkan pendidikan kesehatan di Indonesia. Dari sinilah kemudian lahir beberapa hal penting seperti:

  • Pengembangan Sumber Daya Manusia PKM, yang pada saat itu dirasakan sebagai kebutuhan mendesak, yaitu dengan pembentukan sebuah proyek yang dikenal dengan nama Health Education Manpower Development Project, atau Proyek Pengembangan Tenaga Pendidik Kesehatan Masyarakat. Bagian PKM pada khususnya dan Biro V serta unit lain terkait melakukan kerjasama dengan kelompok ahli dari luar negeri melakukan rekruitmen ketenagaan yang berasal dari berbagai disiplin kesarjanaan, baik kedokteran dan sosial. Sebagai pimpinan proyek ditunjuk Dr.Soeharto Wiryowidagdo MPH. Setelah melalui tahap pendidikan di dalam dan luar negeri, kelompok inilah yang kemudian disebarluaskan pada berbagai tatanan organisasi dilingkungan Departemen Kesehatan, Dinas Kesehatan Propinsi dan Institusi Pendidikan. Sebagian besar dari kelompok yang ditempatkan dilingkungan Departemen Kesehatan berada di kantor Direktorat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat (Dit.PKM), dan Pusat Pendidikan dan Latihan (Pusdiklat). Hanya beberapa orang saja yang ditempatkan pada institusi pendidikan.

  • Sulitkah berbahasa Inggris ?

    Salah satu persyaratan untuk dapat mengikuti pendidikan Health Education Specialist di Amerika Serikat, adalah harus lulus ujian TOEFL dengan nilai terendah 500. Untuk mencapai score 500, bukanlah pekerjaan yang mudah, sehingga karenanya setiap siswa HES diwajibkan mengikuti kursus bhs.Inggris di Lembaga Indonesia Amerika setiap hari. Menyadari bahwa bukan hanya kemampuan reading, dan writing saja yang harus dikuasai, tetapi juga kemampuan conversationpun harus dikuasai, maka salah satu sessi dari kursus adalah belajar cara pengucapan yang benar.
    Konon terjadilah dialog dalam salah satu ruang kelas, antara siswa HES dengan dosen bhs.Inggris. Kata dosen “Please repeat after me. Are you copying the lesson?” Dengan serta merta siswa HES tersebut mengucapkan “ Are you kambing ?”. Sang dosen merasa kaget plus heran dan kemudian mengulangi lagi pertanyaan yang sama. Ajaibnya si siswa masih mengucapkan kalimat yang sama yaitu Are you kambing ?. Tentu saja seluruh kelas merasa lucu dan tertawa. Baru pada pertanyaan ulangan yang ketiga sang siswa berhasil mengucapkan Are you copying the lesson. Luluslah dia. Tentu saja kemudian sang siswa setelah lulus dari Perguruan Tinggi di Amerika Serikat menjadi salah seorang pejabat dilingkungan Departemen Kesehatan.

  • Dalam rangka pengembangan metodologi, khusus dalam rangka pemberdayaan masyarakat dikembangkan beberapa pola pendekatan seperti Bekasi model, Bandung Plan, dll. Secara konsep, kedua model tersebut menjadi cikal bakal pengembangan dari berbagai model pengembangan untuk pemberdayaan masyarakat seperti Daerah Kerja Intensif (DKI), Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD), Kelompok Penimbangan (Pokbang), Pos Kesehatan (Poskes), Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu), Pos Obat Desa, Dana Sehat dan beberapa Pos lainnya yang dikembangkan oleh program kesehatan, serta yang terakhir Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat. Nampak dengan jelas alur benang merah filsafat pemberdayaan masyarakat pada berbagai nama wadah tersebut diatas, yaitu wujud nyata peran serta masyarakat dalam pembangunan kesehatan. Kebutuhan akan upaya pemberdayaan masyarakat sebagai bagian penting dari strategi untuk mewujudkan Indonesia Sehat menjadi issue sentral dari perkembangan pendidikan kesehatan di Indonesia.


Dari Direktorat Menjadi Pusat, Kembali Direktorat Dan Pusat Lagi


Setelah selama sekitar 8 tahun menjadi Bagian, pada tahun 1975 berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 125 Tahun 1975, Bagian PKM Biro V Pendidikan Depkes tersebut berkembang menjadi Direktorat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat (PKM) pada Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat (Binkesmas). Diangkat sebagai Kepala Direktorat adalah Dr. Pudjiastuti Pranjoto, MPH, yang memperoleh pendidikan tentang Health Education di University of Berkeley, USA. Salah satu Kepala Subditnya adalah Dr. I.B. Mantra, MSc., yang setelah selesai dari kegiatan Work Experience di Bandung (beliau sebagai salah seorang supervisornya), beliau belajar di Harvard University, USA. Pada masa inilah pemantapan pendidikan Health Education Specialist baik di dalam maupun di luar negeri, pengembangan tenaga Wakil Koordinator (Wator) di tingkat kabupaten, serta diperkenalkannya daerah percontohan PKM yang disebut Daerah Kerja Intensif (DKI) PKM.
Kemudian berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 558 Tahun 1984, unit Direktorat PKM Ditjen Binkesmas tersebut berubah menjadi Pusat PKM di bawah Sekretariat Jenderal. Sebagian tugas pokok Direktorat PKM tersebut ditambah dengan beberapa tugas lain menjadi Direktorat baru yaitu Direktorat Bina Peran Serta Masyarakat (BPSM) yang tetap berada di lingkungan Ditjen Binkesmas. Sementara itu di bawah Ditjen Binkesmas juga ada Direktorat Bina Puskesmas, yang kemudian menjadi motor pengembangan kegiatan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD). Kepala Pusat PKM adalah Dr. I.B. Mantra, MSc, dan Kepala Direktorat BPSM adalah Dr. Sonya Roesma, SKM, sedangkan Kepala Direktorat Bina Puskesmas adalah Dr. Soeharto Wiryowidagdo, MPH. Pada periode inlah Pusat PKM mengembangkan dan memproduksi berbagai media, a.l. serial sinetron Dr. Sartika melalui TVRI (satu-satunya saluran TV waktu itu), yang mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat.
Selanjutnya pada tahun 2000, diadakan reorganisasi Depkes. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 130 Tahun 2000, unit Pusat PKM berubah lagi menjadi Direktorat Promosi Kesehatan pada Ditjen Binkesmas. Direkturnya adalah Drs. Dachroni, MPH, yang sebelumnya telah menjadi Kepala Pusat PKM sejak 1994, menggantikan Dr. I.B. Mantra yang memasuki usia pensiun. Pada masa inilah diperkenalkan Pengembangan PHBS (Perilaku Hidup Bersih dan Sehat) sebagai cikal bakal Promosi Kesehatan, yang kemudian menjadi nomenklatur PKM di lingkungan Depkes. Pada masa ini pula diselenggarakan Konferensi Internasional Promosi Kesehatan ke-4, yang menghasilkan Deklarasi Jakarta, yang menjadin acuan kegiatan promosi kesehatan di dunia. Sesuai dengan KepMenkes tersebut, Direktorat BPSM dilikuidasi. Salah satu subditnya masuk di Direktorat Promosi kesehatan, sedangkan subdit lainnya ada yang bergabung dengan Direktorat baru yaitu Dit. Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM), Dit. Kesehatan Tradisonal, dll.
Satu hal yang menjadi catatan sejarah adalah bahwa pada tahun 2001 pada era Presiden Abdurrahman Wahid, Departemen Kesehatan dan Departemen Sosial digabung menjadi satu Departemen, yaitu Departemen Kesehatan dan Sosial RI. Konsekwensinya adalah bahwa unit-unit di kedua departemen tersebut juga disatukan, salah satunya adalah Direktorat Promosi Kesehatan Depkes dan Pusat Penyuluhan Sosial Depsos. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan dan Sosial RI Nomor 446 Tahun 2001, unit tersebut ditetapkan menjadi Direktorat Promosi Kesehatan dan Penyuluhan Sosial di bawah Ditjen Pemberdayaan Sosial RI. Surat Keputusan sudah ditandatangani, dan telah ditetapkan Drs. Dachroni, MPH sebagai direkturnya, tinggal menunggu saat pelantikannya saja. Struktur organisasi ini tidak pernah diberlakukan, karena sebelum pelantikan telah terjadi pergantian pemerintahyan dari Presiden Abdurrahman Wahid kepada Presiden Megawati Soekarnoputeri, yang kembali memisahkan Depk. Kesehatan dan Dep. Sosial RI.
Akhirnya melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1227 Tahun 2001, Direktorat Promosi Kesehatan berubah status menjadi Pusat Promosi Kesehatan di bawah Sekretariat Jenderal. Sudit Peran Serta Masyarakat terpisah dari Pusat Promosi Kesehatan, bergabung dengan Direktorat baru, menjadi Direktorat Kesehatan Komunitas, di bawah Ditjen Binkesmas. Dit JPKM tetap ada, juga di bawah Ditjen Binkesmas. Sebagai Kepala Pusat ditetapkan Drs. Dachroni, MPH, dan waktu ia pensiun pada tahun 2004, ia digantikan oleh Bambang Hartono, SKM, MSc.



Direktorat BPSM, JPKM dan Kesehatan Komunitas

Sebagaimana disebutkan di muka, bahwa pada sekitar tahun 1985 berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 558 Tahun 1984 dibentuk organisasi baru antara lain Direktorat Bina Peran Serta Masyarakat (BPSM) di lingkungan Ditjen Binkesmas. Sebagai sebuah organisasi baru yang ditugaskan untuk mengelola dan mengembangkan peran serta masyarakat, Di.Bina PSM memiliki sub.dit Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) yang sebelumnya berada pada Direktorat Bina Puskesmas. Sub.dit ini memiliki seksi PKMD dan PKMD Perkotaan (PKMD/K). Sub.dit inilah yang kemudian bersama unit kerja terkait lainnya mengembangkan Posyandu. Secara kelembagaan sub.dit PKMD bertanggung jawab untuk melakukan berbagai upaya pembinaan dan pengembangan Posyandu, dan secara teknis memperoleh bantuan kerjasama yang erat dari unit organisasi terkait, seperti Gizi, Imunisasi, Diare, KIA bahkan BKKBN.
Periode ini merupakan salah satu periode penting dalam perkembangan organisasi pendidikan kesehatan, karena selain pada tingkat Pusat ada Pusat PKM dan Direktorat BPSM, pada tingkat propinsi terdapat Seksi PSM yang ada di Kantor Wilayah Departemen Kesehatan (Kanwil Dep.Kes), dan Sub.Dinas PKM pada Dinas Kesehatan Propinsi. Sementara itu pada tingkat kabupaten cerminan serupa diatas juga masih tercerminkan, karena di kabupaten masih ada Kantor Departemen Kesehatan ( Kandep.Kesehatan), dan Dinas Kesehatan Kabupaten.
Yang menarik dari Dit.Bina PSM ini pada waktu itu sudah mulai melakukan upaya rintisan untuk mengantisipasi masalah pembiayaan kesehatan yang pada era tahun 2000 malah menjadi topik nasional dari pembangunan kesehatan, yaitu dengan munculnya seksi Dana Sehat walaupun strukturnya masih merupakan sebuah seksi saja. Ternyata dalam perkembangan lebih lanjut, masalah pembiayaan kesehatan telah ditetapkan oleh para pengambil keputusan di Departemen Kesehatan sebagai bagian terpenting dari sekian banyak topik dan masalah peran serta masyarakat.
Hal ini menjadi latar belakang kebijakan penting dari lahirnya Direktorat Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (Dit.JPKM), sebagai pengembangan lebih lanjut dari Dit.Bina PSM dan masih tetap berada dilingkungan Dit.Jen Binkesmas. Maka lahirlah Dit.JPKM, dan sirnalah Dit.BPSM atau dengan kata lain berakhirlah periode peran serta masyarakat dalam bentuk kegiatan Posyandu, digantikan oleh program JPKM yang melahirkan Badan Penyelenggara Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat ( Bapel JPKM). Berbeda dengan Posyandu yang ada ditingkat akar rumput yaitu desa, maka Bapel JPKM berada diibukota Kabupaten.
Praktis dengan lahirnya program JPKM sebagai primadona peran serta masyarakat dalam pembangunan kesehatan, maka sirnalah era Posyandu yang konon pada masa puncaknya pernah melahirkan tidak kurang dari 240.000 buah Posyandu sebagai bentuk peran aktif masyarakat. Dan untuk tidak memberikan kesan seolah peran serta masyarakat kurang penting, maka berbagai hal yang terkait dengan hal tersebut akan dikelola oleh sebuah unit organisasi setingkat sub.dit, yaitu sub.dit Upaya Kesehatan Berbasis Masyarakat (UKBM).
Selanjutnya pada reorganisasi Depkes tahun 2000 muncul Direktorat Kesehatan Komunitas, di bawah Ditjen Binkesmas. Direktorat ini mempunyai beberapa sub direktorat antara lain UKBM dan PKMD Perkotaan. Dengan demikian upaya pemberdayaan masyarakat sepertinya menjadi urusan Direktorat baru ini. Sementara itu Direktorat JPKM masih tetap bertahan, yang juga berada di lingkungan Ditjen Binkesmas. Sedangkan Pusat Promosi Kesehatan yang berada di lingkungan Sekretariat Jenderal mengurusi bidang metode, teknik dan sarana promosi serta kemitraan dan peran serta masyarakat.



Unit PKM/Promosi Kesehatan di Daerah

Keberadaan unit PKM dalam organisasi kesehatan di daerah (provinsi dan kabupaten/kota) sebenarnya sudah ada sejak dicanangkannya pembangunan nasional melalui Repelita I tahun 1969. Pada beberapa provinsi yang relatif maju, unit PKM sudah dibentuk sejak tahun 1967 setelah pemberlakuan struktur organisasi Depkes tahun 1967. Pada waktu itu kegiatan-kegiatannya masih terbatas pada dukungan terhadap upaya penenggulangan beberapa penyakit menular di daerah tersebut dengan metoda dan sarana yang masih sangat terbatas. Tersedianya dana melalui APBN yang kemudian dituangkan dalam bentuk proyek di daerah, ternyata memberikan dukungan sangat berarti bagi kegiatan PKM di daerah. Hal ini semakin meningkat dan memperoleh momentum setelah pada sebagian besar provinsi ditempatkan tenaga spesialis Penyuluh Kesehatan (HES).
Pada mulanya PKM berupa unit yang pada sebagian daerah berdiri sendiri atau menjadi bagian dari Direktorat Daerah yang merupakan cerminan dari struktur yang berlaku di tingkat Nasional. Kemudian sesuai dengan kewenangan otonomi daerah yang dimiliki oleh provinsi dan semakin dipahaminya arti penting PKM, maka status PKM menjadi Direktorat Daerah (eselon III) dalam struktur organisasi Inspektur / Dinas Kesehatan Provinsi. Ini terjadi sekitar tahun 1979-an, dan ini juga tercermin pada struktur organisasi Dinas Kesehatan Kabupaten, yang menempatkan unit PKM pada seksi (eselon IV). Tenaga pengelola PKM di kabupaten pada waktu itu pada umumnya adalah tenaga perawat atau sanitarian zdengan ketrampilan PKM yang terbatas.
Pada waktu itu belum ada tenaga PKM di front terdepan yaitu Puskesmas. Itu karena dianut prinsip bahwa penyuluhan kesehatan adalah bagian yang terintegrasi dengan semua program di Puskesmas, dan penyuluhan kesehatan dapat dilakukan oleh siapa saja di Puskesmas. Akibatnya, kegiatan PKM menjadi tidak terarah dan dijalankan secara sambil lalu saja.
Dengan pembentukan Kantor Wilayah pada tahun 1985, sebagian tugas PKM yaitu pengembangan masyarakat dialihkan dan ditangani oleh Kantor Wilayah, yaitu oleh seksi Peran Serta Masyarakat. Sedangkan sebagian yang lain masih tetap berada di Dinas Kesehatan dan dikelola oleh Sub Dinas Penyuluhan Kesehatan Masyarakat. Hal ini juga tercermin di kabupaten/kota, yang tercermin dalam organisasi Kandep dan Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Pada waktu itu memang sering terjadi rivalitas antara kedua unit yang sama-sama mengurusi penyuluhan/pemberdayaan masyarakat itu. Rivalitas itu ada yang berkembang positif dengan kerjasama yang baik, tetapi ada juga yang kurang berjalan baik.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah secara penuh pada tahun 2001 melalui UU No. 22 Tahun 1999, maka kewenangan pembentukan organisasi daerah sepenuhnya berada dalam tangan pemerintah daerah kabupaten dan kota. Hal itu juga berimbas pada struktur organisasi dinas kesehatan, termasuk unit promosi kesehatan. Struktur organisasi promosi kesehatan menjadi sangat bervariasi. Ada daerah yang menempatkannya dalam sub dinas tersendiri, ada yang menjadi seksi/bagian dari subdinas lain, dan ada juga yang hanya menjadi program tanpa eselon. Bahkan ada pula yang hilang sama sekali dari peredaran. Hal ini tentunya menjadi bahan renungan dan pemikiran untuk dicarikan solusinya yang terbaik.



Beberapa Wacana (Issues) Dalam Organisasi Pendidikan/Promosi Kesehatan


Dalam perkembangan organisasi pendidikan kesehatan, muncul issu yang kemudian memberikan warna dan mempengaruhi pertumbuhan organisasi. Beberapa issu tersebut antara lain adalah:

  • Posisi organisasi pendidikan kesehatan dalam organisasi Departemen Kesehatan


  • Untuk menjawab pertanyaan ini, tersedia dua alternatif jawaban yaitu organisasi pendidikan kesehatan berada para unit organisasi operasional seperti Direktorat Jendral atau berada pada unit organisasi penunjang seperti Sekretariat Jendral.
    Ternyata dalam perkembangan organisasi pendidikan kesehatan, kedua jawaban tersebut pernah dialami. Pendidikan Kesehatan pernah berada pada unit penunjang seperti Bagian PKM, pada Biro V di lingkungan Sekretariat Jendral. Juga pernah sebagai Pusat Penyuluhan Kesehatan, juga secara admkinistratif di bawah Sekretariat Jenderal. Hal tersebut memberikan keuntungan bahwa pendidikan kesehatan memiliki akses luas untuk masuk kesemua program. Namun demikian karena berada pada unit penunjang, maka organisasi pendidikan kesehatan tidak memiliki akses untuk operasional karena lebih berperan pada aspek pembinaan dan pengembangan semata.
    Dalam perkembangan lebih lanjut, pendidikan kesehatan pernah berada pada unit kerja operasional, yaitu sebagai Direktorat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat di lingkungan Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat (Binkesmas). Juga sebagai Direktorat Promosi Kesehatan pada Ditjen yang sama.
    Berada pada posisi ini unit tersebut mempunyai akses pembinaan operasional di lapangan, tetapi memberikan kesan seolah organisasi pendidikan kesehatan hanya dimiliki dan hanya melayani program yang berada dilngkungan Direktorat Jendral itu saja. Sudah barang tentu kesan tersebut tidak benar, namun posisi ini secara lambat menyebabkan popularitas pendidikan kesehatan dilingkungan Direktorat Jendral lain kurang dikenal.

  • Unit pendidikan kesehatan di setiap unit kerja Departemen Kesehatan?


  • Adalah benar bahwa pelayanan pendidikan kesehatan diperlukan oleh seluruh program di lingkungan Departemen Kesehatan. Tetapi apakah keberadaan unit pendidikan kesehatan harus ada pada setiap unit organisasi dilingkungan Departemen Kesehatan? Pertanyaan itu kemudian selalu menjadi perdebatan dalam rangka menata organisasi dilingkungan Departmen Kesehatan. Issu ini berkembang dari pemikiran bahwa “Health Education itself is nothing, health education with program is something, heath education with program and people is everything”
    Selamat jalan PKM…?

    Ketika pertama kali organisasi pendidikan kesehatan muncul di lingkungan Departemen Kesehatan, namanya adalah Pendidikan Kesehatan. Selanjutnya dalam perkembangan sejarah, istilah pendidikan kesehatan di lingkungan Departemen Kesehatan dihentikan, dan kemudian muncul Penyuluhan Kesehatan Masyarakat. Nama Penyuluhan Kesehatan Masyarakat yang sering disingkat menjadi P.K.M.ini bertahan cukup lama, dan cukup populer di lingkungan Dep.Kesehatan maupun Dinas Kesehatan baik propinsi maupun kabupaten. Istilah PKM seolah sudah melekat menjadi trade mark tersendiri untuk singkatan Penyuluhan Kesehatan Masyarakat..
    Sayang sekali singkatan ini tidak pernah dipatenkan sebagai milik Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, sehingga ketika belakangan muncul pengertain lain terhadap PKM, yah tidak bisa protes. Seperti diketahui sudah bukan menjadi rahasia lagi bahwa di llingkungan Dinas Kesehatan Propinsi dan Kabupaten/Kota, istilah Puskesmas yang sebenarnya sudah merupakan singkatan sering disingkat lagi menjadi PKM. Dari kaidah bahasa, Puskesmas menjadi PKM sebenarnya tidak tepat, tetapi mereka merujuk kepada program AMD yang konon merupakan singkatan ABRI Masuk Desa. Kini nama PKM tinggal sejarah dan kenangan, karena konon penyuluhanpun sudah berubah menjadi Promosi Kesehatan.

    Issu ini yang menjadi dasar pemikiran mengapa pada awalnya unit organisasi pendidikan kesehatan berada pada Biro V, di lingkungan Sekretariat Jendral, bukan berada di lingkungan Direktorat Jendral yang memberikan layanan langsung kepada masyarakat. Berada di lingkungan Sekretariat Jendral memberikan kesempatan kepada Bagian 4 Pendidikan Kesehatan untuk memberikan layanan secara lebih luas, artinya kepada semua unit organisasi yang berada pada berbagai Direktorat Jendral, dilingkungan Departemen Kesehatan. Diharapkan dengan hanya ada satu unit organisasi pendidikan kesehatan, pengembangan dan pelayanan yang diberikan kepada seluruh program akan relatif lebih mudah. Berbeda dengan unit organisasi lain yang juga berada pada lingkungan Sekretariat Jendral seperti Biro Kepegawaian, ternyata keberadaan unit organisasi kepegawaian tersebut muncul dan diperkuat juga oleh unit organisasi kepegawaian pada tiap Direktorat Jendral. Sementara itu organisasi pendidikan kesehatan hanya berada pada lingkungan Sekretariat Jendral saja.
    Walaupun demikian, unit organisasi pendidikan kesehatan secara konsep tetap dituntut untuk memberikan pelayanan kepada seluruh unit organisasi di lingkungan Departemen Kesehatan. Ternyata dalam jangka panjang, hal ini menjadi kendala yang mengakibatkan tidak optimalnya pelayanan pendidikan kesehatan untuk seluruh program, dan lebih jauh memberikan kesan seolah tanpa unit organisasi pendidikan kesehatanpun kebutuhan terhadap layanan pendidikan kesehatan dapat dipenuhi.
    Pada sisi lain, penerapan prinsip ini mengandung resiko yang menyangkut pendanaan yang memang selalu sangat terbatas jumlahnya. Dengan hanya berada di lingkungan Sekretariat Jendral saja dan itupun hanya merupakan satu dari lima bagian yang ada, praktis perolehan alokasi anggaran sangat terbatas. Pada perkembangan selanjutnya, pada waktu menjadi Pusat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat, ada 4 bidang, yang salah satu bidangnya menguryusi penyuluhan program kesehatan. Bidang tersebut mempunyai empat sub bidang, yang masing-masing mengurusi program-program yang ada di unit kerja utama Depkes, yaitu di empat direktorat jenderal. Dengan adanya bidang khusus tersebut diharapkan kerjasama antara unit PKM dengan unit program berjalan baik. Pada kenyataannya beberapa program dapat berjalan lancar, tetapi ada juga beberapa program yang jalannya tersendat.

  • Apakah kiprah pendidikan kesehatan cukup ditampung hanya melalui satu organisasi saja di lingkungan Departemen Kesehatan ?


  • Kesadaran yang semakin meningkat akan peran dan perlunya pendidikan kesehatan untuk setiap program kesehatan ternyata telah menyebabkan semakin sempitnya wadah Direktorat penyuluhan Kesehatan Masyarakat yang berada dibawah Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat. Kebutuhan tersebut dirasakan secara merata oleh unit organisasi terutama di lingkungan Direktorat Jendral Pembinaan Kesehatan Masyarakat. Merasa bahwa Direktorat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat belum dapat menampung aspirasi yang diperlukan, Direktorat Bina Gizi Masyarakat salah satu Direktorat dilingkungan Dit.jen Binkesmas melangkah sendiri dengan mengembangkan program pemberdayaan masyarakat, melalui pengembangan Kelompok Penimbangan (Pokbang) pada banyak desa dengan dukungan penuh UNICEF. Bersamaan dengan itu Dit.Gizi juga banyak mengembangkan berbagai media penyuluhan untuk keperluan pengembangan Pokbang.
    Merasa bahwa gagasan dan hasrat Direktorat Bina Gizi Masyarakat belum sepenuhnya tersalurkan, dalam perkembangannya kemudian dibentuk sebuah unit organisasi yang disebut sebagai Nutrition Education dengan bantuan Bank Dunia. Yang menarik dari unit Nutrition Education ini adalah posisinya secara organisasi berada di lingkungan Direktorat Penyuluhan Kesehatan Masyarakat. Dr.I.B. Mantra MPH yang pada saat itu sebagai Ka subdit Metoda dan Teknik pada Dit.PKM ditunjuk sebagai Direktur Nutrition Education walaupun memang lokasi kegiatannya baru pada beberapa propinsi saja, seperti Sumatera Selatan, Jawa Tengah, dan D.I. Yogyakarta.
    Sementara itu pada saat yang sama, Direktorat Bina Puskesmas merasakan keperluan yang amat mendesak untuk pemberdayaan masyarakat. Direktorat ini melalui salah satu subditnya yang bernama subdit Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD) kemudian mengembangkan desa PKMD yang mengidentifikasikan dirinya sebagai bentuk operasional Primary Health Care (PHC) di Indonesia, dan mendapat dukungan dana dari WHO.
    Dengan demikian pada tatanan desa sudah ada Pokbang, Desa PKMD, bahkan Daerah Kerja Intensif sebagai desa yang dibina oleh Direktorat PKM pada waktu itu. Ini menunjukkan bahwa kebutuhan terhadap partisipasi aktif masyarakat dalam setiap program kesehatan sudah sangat mendesak, dan itu tidak dapat dipenuhi hanya melalui wadah Dit.PKM semata-mata.
    Pada reorganisasi di lingkungan Departemen Kesehatan yang terjadi pada tahun 1985, muncullah wadah organisasi yang khusus menangani masalah peran serta masyarakat, yaitu Direktorat Bina Peran Serta Masyarakat (Bit.BPSM) di lingkungan Dit.Jen Binkesmas, dengan Kepala Direktorat yang pertama : Dr.Sonya Roesma SKM.

Unit Promosi Kesehatan menjadi Eselon I?

Kiranya perlu pula dimunculkan issu atau wacana tentang perlunya unit Promosi Kesehatan menjadi eselon I. Mengapa tidak? Dilihat dari berbagai pertimbangan, kiranya cukup pantas untuk menjadikan Promosi Kesehatan sebagai eselon I, yang langsung berada di bawah Menteri.
Pertama apabila dilihat dari upaya kesehatan sendiri. Upaya kesehatan terdiri dari upaya promotive, preventive, curative dan rehabilitative. Atau upaya peningkiatan, pencegahan, penyembuhan dan pemulihan. Semua sepakat bahwa keempat upaya tersebut perlu dilakukan secara komprehensive, dan semua juga sepakat bahwa “Promotive or preventive is better than cure”. Selain itu juga semua sepakat bahwa upaya promotif lebih “cost efective” dibandingkan dengan upaya lainnya. Jadi adalah wajar apabila untuk upaya promotif ini diberikan perhatian saksama dengan pemikiran serta sumber daya yang lebih memadai, dengan menempatkannya sebagai unit eselon I.
Kemudian apabila dilihat dari tujuan pembangunan kesehatan, fokusnya adalah pada peningkatan kesadaran, kemauan dan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat. Dengan kata lain tujuannya berfokus pada pemberdayaan masyarakat. Dengan pemberdayaan masyarakat ini, masyarakat akan menjadi subyek, menjadi pelaku, yang akan berperan aktif dalam pembangunan kesehatan. Dengan demikian program kesehatan akan berjalan secara lebih cepat, karena mendapatkan energi berlimpah yaitu masyarakat itu sendiri. Ini juga sejalan dengan SKN baru (2004) yang menetapkan adanya enam sub sistem, salah satunya adalah Sub Sistem Pemberdayaan Masyarakat, yang merupakan bidang garapan promosi kesehatan. Untuk memberdayakan masyarakat itu tidak mudah, diperlukan segenap pemikiran dan sumber daya. Unit yang memikirkan upaya ini, seharusnyalah perlu ditingkatkan menjadi eselon I, langsung di bawah Menkes. Dalam hal ini sudah ada contoh di Departemen lain yang menempatkan unit penyuluhan berstatus eselon I yaitu di Departemen Pertanian, yang bernama Badan Penyuluhan Pertanian
Kemudian apabila urusan Departemen ini kita bandingkan dengan urusan di dunia usaha, maka bidang promosi ini biasanya menempati posisi yang sangat penting, disamping bidang produksi dan umum/keuangan. Bahkan seringkali direktur bidang promosi menerima gaji yang lebih baik daripada direktur lainnya, hanya sedikit di bawah direktur utama. Bidang promosi di berbagai unit usaha (swasta atau BUMN) seringkali juga mendapatkan perhatian istimewa, dengan sumber daya yang istimewa pula.

Demikianlah, promosi kesehatan yang perlu melakukan advokasi, bina suasana dan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan itu memang layak menjadi eselon I di Departemen Kesehatan. Kata-kata mutiara yang dikutip di awal bab ini telah mengingatkan bahwa apabila hal-hal yang baik seperti promosi kesehatan ini tidak terorganisasi secara mantap, akan dikalahkan dan tenggelam oleh hal yang buruk yang terorganisasi secara baik (misalnya kampanye rokok yang sangat gencar).




SUMBER DAYA MANUSIA PROMOSI KESEHATAN
(KETENAGAAN PENYULUH KESEHATAN)



Tenaga Penyuluh Kesehatan di beberapa masa

Keberadaan Penyuluhan Kesehatan Masyarakat/Promosi Kesehatan sangat ditentukan oleh tenaga pendukungnya. Selama ini sejak dari periode awal hingga kini pada umumnya tenaga Penyuluh Kesehatan Masyarakat/Promosi Kesehatan adalah orang-orang yang peduli (concern) pada bidang ini. Tapi karena jumlahnya sangat terbatas dan berada dalam lingkup struktur yang terbatas serta tidak strategis, maka gemanya kurang terdengar. Dalam hal ini, pengalaman menunjukkan, bahwa pengakuan terhadap eksistensi Promosi Kesehatan dan pengembangannya termasuk ketenagaannya pada saat ini tidaklah diperoleh dengan mudah. Artinya ada suatu proses panjang yang cukup melelahkan yang harus ditempuh untuk dapat mencapai situasi seperti sekarang.
Pengadaan tenaga khusus Pendidikan/Penyuluhan Kesehatan Masyarakat sebenarnya sudah dirasakan jauh sebelum dibentuknya suatu unit khusus dalam struktur Departemen Kesehatan. Bahkan pada masa perintisan Pendidikan Kesehatan Rakyat di era pemerintahan Hindia Belanda sekitar awal abad 20 (1911) di Banyumas telah didirikan Sekolah Juru Hygiene yang menghasilkan sejumlah Juru Hygiene yang bekerja melakukan propaganda kepada masyarakat. Para Juru Higiene ini bekerja di daerah perkebunan yang penduduknya banyak menderita penyakit cacing tambang dengan menjadi tenaga propaganda yang memperkenalkan cara mencegah dan memberantas serta mengobati penyakit ini.
Kemudian pada masa awal kemerdekaan, sekitar tahun 1948, kesadaran akan perlunya pendidikan kesehatan kepada rakyat diwujudkan melalui pendirian Sekolah Penyuluh Kesehatan di Magelang yang mempunyai daerah percontohan di Magelang dan Yogyakarta. Tenaga-tenaga ini diadakan secara sporadis di beberapa daerah yang merupakan perintisan pendidikan kesehatan rakyat. Mereka ditugasi untuk melakukan penyuluhan di bidang hygiene dan sanitasi untuk mencegah penyakit menular yang waktu itu menimpa sebagian penduduk terutama di perdesaan. Tenaga-tenaga ini pada dasarnya adalah tenaga sanitasi yang diberi kemampuan propaganda atau penyuluhan.Tetapi yang jelas tenaga-tenaga ini belumlah merupakan tenaga propaganda atau pendidikan kesehatan secara khusus tetapi tenaga sanitasi atau perawat yang diberi ketrampilan propaganda/pendidikan.
Pendidikan dan pelatihan tenaga pendidik atau penyuluh kesehatan ini juga dilakukan pada era KMD/PKR, khususnya di daerah percontohan Lemah Abang, Bekasi, dalam bimbingan Dr. Sulianti Sarosa. Pada waktu itu dikembangkan “Rural Health Team” yang terdiri dari beberapa tenaga dari berbagai disiplin yang dengan cara “learning by doing” dan dengan semangat tim (team spirit) melakukan kegiatan kesehatan masyarakat desa. Beberapa alumni dapat disebutkan, a.l. Dra. Koesnaniah Wirja Mihardja, Prof. Dr. Buchari Lapau, Drs. Putu Lawa Udayana, dll. Beberapa orang juga dikirim belajar ke luar negeri, seperti ke Beirut. Lebanon, India dan juga USA.



Pengadaan Tenaga Health Education Specialist

Arti penting pendidikan kesehatan pada akhir tahun 1960-an dan awal tahun 70-an menuntut dikembangkannya tenaga khusus penyuluhan kesehatan yang disebut sebagai Health Education Specialist. Sekitar tahun 1968 dalam Rapat Kerja (Workshop) Nasional a.l. dikemukakann tentang pentingnya pendidikan kesehatan dan kemudian diputuskan bahwa Pendidikan Kesehatan merupakan suatu usaha utama dan mutlak untuk merealisasikan puskesmas. Dan dalam kesempatan itu direkomendasikan a.l. “pengembangan staff yang qualified melalui pendidikan Health Education Specialist”.
Rekomendasi ini baru dapat diwujudkan pada tahun 1971 dalam bentuk Pendidikan Tenaga Ahli Pendidikan Kesehatan Masyarakat (Health Education Specialist). Upaya ini mendapatkan dukungan dana dan konsultan dari WHO dan USAID dan disebut sebagai Health Education Manpower Development Project. Tenaga-tenaga ini diharapkan menjadi advocator, motivator dan katalisator bagi penyusunan kebijakan dan keputusan pembangunan kesehatan masyarakat. Tenaga-tenaga ini direkrut dari berbagai disiplin ilmu dan dididik dalam berbagai perguruan tinggi di luar dan di dalam negeri. Mereka dididik dan dipersiapkan untuk menjadi tenaga pengelola PKM di tingkat nasional dan provinsi. Sejatinya, tenaga-tenaga ini dipersiapkan untuk menduduki jabatan atau fungsi penyuluhan kesehatan pada institusi kesehatan utamanya penyuluhan kesehatan di pusat dan provinsi maupun institusi di luar kesehatan.
Ada dua model yang dikembangkan melalui pendidikan tenaga ahli PKM ini yaitu pendidikan model BOC dan pendidikan model FKM-UI. Pendidikan model pertama melalui tahapan basic orientation course (BOC) selama 6 bulan di Cilandak diikuti dengan pengalaman lapangan selama 6-12 bulan di Bandung dan dilanjutkan dengan pendidikan S2 (Master) di universitas-universitas di Amerika Serikat selama 1 tahun. Model pertama berlangsung selama 2 angkatan mencakup 31 orang. Pendidikan model kedua melalui pra-SKM selama 6 bulan, diikuti pendidikan SKM (Master) selama 1 tahun dan diakhiri dengan pengalaman lapangan selama 6 bulan. Seluruhnya diselenggarakan di FKM-UI. Model kedua juga berlangsung selama 2 angkatan berjumlah 30 orang.
Selama mengikuti kegiatan pengalaman lapangan (work experience program), peserta (calon HES khususnya angkatan I dan II) ditempatkan di Puskesmas. Mereka melakukan study untuk mengenali masyarakat dengan menggunakan antropological approach. Mereka tinggal di desa dan hidup bersama masyarakat desa. Hasil study itu disampaikan kepada masyarakat desa, lalu diadakan temu atau musyawarah desa untuk menyepakati hal-hal yang perlu dilakukan untuk membangun masyarakat desanya. Model inilah yang kemudian nanti berkembang menjadi apa yang disebut dengan “Pendekatan Edukatif”.
Peserta juga mengembangkan program pendidikan kesehatan yang melekat pada masing-masing program kesehatan. Mereka ini mula-mula mengikuti kegiatan setiap petugas puskesmas (bidan, perawat, sanitarian, petugas UKS, tenaga gizi, juga dokter), kemudian bersama masing-masing mereka mendiskusikan aspek pendidikan kesehatan yang dapat dilakukan oleh masing-masing tenaga kesehatan itu dalam program atau kegiatan masing-masing.
Setelah di Puskesmas, peserta (calon HES) itu melakukan hal yang sama di tingkat kabupaten (bersama staf Dinas Kesehatan Kabupaten) dan juga di tingkat provinsi (bersma staf Dinas Kesehatan Provinsi). Para peserta bolak-balik antara lapangan dengan klas. Dalam klas ini mereka memperoleh bimbingan para konsultan (adviser dari WHO dan USAID) dan supervisor (bapak Putulawa Udayanan dan Bapak I.B. Mantra).
Tenaga-tenaga ini kemudian setelah lulus (angkatan I sd IV) ditempatkan sebagian di Direktorat PKM, dan sebagian lainnya di Pusdiklat, Ditjen Binkesmas, Asuransi Kesehatan dan FKM di beberapa universitas negeri serta di Dinas Kesehatan Provinsi (Unit PKM). Perkembangan karir mereka bervariasi mulai dari staf sampai yang menjabat eselon 2 di Pusat PKM dan dari dosen/widyaiswara hingga anggota Tim Pemberantas Korupsi. Ada juga yang menjabat eselon I di Departemen lain / Lembaga Non Departemen. Selaras dengan perkembangan pada waktu itu, ada juga beberapa tenaga lulusan ini yang beralih ke bidang-bidang lain baik yang masih berkaitan dengan penyuluhan kesehatan maupun yang tidak banyak berkaitan dengannya. Walaupun demikian kehadiran tenaga-tenaga ini di posisinya masing-masing cukup mewarnai perkembangan penyuluhan kesehatan secara khusus dan pembangunan kesehatan pada umumnya.



Tenaga Wakil Koordinator (Wator) PKM

Pada pertengahan tahun 1970-an berhubung dengan dirasakannya kesenjangan antara tenaga ahli di provinsi dan tenaga PKM di kabupaten/kota, maka diperkenalkan suatu bentuk pelatihan praktis yang berjangka waktu singkat untuk petugas PKM lapangan. Pelatihan ini diselenggarakan bersama FKM-UI dengan menggunakan pendekatan modul. Pelatihan ini berjangka 3 bulan dan mengambil model pendidikan ahli PKM yang disederhanakan. Yaitu pendidikan teori di kelas selama 2 bulan dan dilanjutkan dengan pengalaman lapangan (magang) selama 1 bulan. Pelatihan ini diselenggarakan di Jakarta (Direktorat PKM) dan juga disebar di beberapa provinsi yang dianggap mampu menyelenggarakan yaitu di Bandung (Jawa Barat), Semarang (Jawa Tengah), Surabaya (Jawa Timur) dan Makassar (Sulawesi Selatan). Dalam rangka penyetaraan pengetahuan dan ketrampilan didoronglah provinsi-provinsi lain untuk mengirimkan tenaganya agar dapat dilatih pada lokasi pelatihan yang terdekat pada mereka. Misalnya NTT dan NTB mengirimkan petugasnya ke Surabaya.
Dengan didukung dana APBN melalui proyek PKM provinsi diperkirakan hampir seluruh kabupaten/kota dari seluruh provinsi di Indonesia (termasuk prov Timtim waktu itu) telah mengikuti pelatihan tersebut. Tenaga-tenaga inilah yang kemudian disebut Wakil Koordinator (Wator) PKM yang ditempatkan kembali di kabupaten/kota untuk mengembangkan antara lain daerah percontohan kabupaten/kotanya yang disebut daerah kerja intensif (DKI) PKM disamping tugas-tugas PKM yang lain.
Tenaga yang telah dilatih ini kemudian ditempatkan di unit PKM sebagai koordinator atau wakil koordinator dengan pengutamaan pada tingkat kabupaten walaupun ada juga yang ditempatkan di provinsi ataupun puskesmas dalam jumlah terbatas. Tenaga-tenaga inilah, sesuai dengan ketrampilan yang dimiliki, yang ditugasi untuk mengembangkan antara lain daerah percontohan PKM yang disebut Daerah Kerja Intensif (DKI) PKM disamping tugas-tugas lain yang menjadi beban tugasnya.
Pada waktu itu telah dipikirkan juga untuk mengembangkan tenaga PKM di tingkat Puskesmas yang mendapatkan pelatihan yang mirip dengan pelatihan Wator dengan masa pelatihan yang lebih singkat lagi. Sayang sekali rencana ini tidak berjalan mulus terkendala dengan anggaran yang terbatas dan banyaknya jumlah tenaga yang harus dilatih. Akhirnya rencana tersebut hilang begitu saja yang berakibat pada belum sempat disiapkan dan diadakannya tenaga operasional di tingkat akar rumput/puskesmas. Dengan kata lain, upaya penyuluhan kesehatan di tingkat terdepan belum mendapatkan perhatian dan sentuhan yang memadai dan tentu saja hal ini mempengaruhi perkembangan PKM dan kesehatan pada umumnya.
Dalam era otonomi daerah di masa kini, pengembangan tenaga operasional promosi kesehatan perlu dihidupkan kembali dan jika memungkinkan merekrut serta menyebarkan tenaga jabfung PKM yang rencananya akan ditempatkan pada puskesmas-puskesmas di seluruh Indonesia. Hal ini menjadi semakin mendesak lagi setelah menyaksikan perkembangan penyakit lama dan baru yang bertubi-tubi mengancam dan menimpa sebagian atau seluruh bangsa dan rakyat Indonesia.



Jabatan Fungsional Penyuluh Kesehatan

Dengan berkembangnya waktu dan keadaan, sekitar akhir tahun 1980-an dan awal 1990-an lahir suatu konsep pemikiran tentang profesionalisme tenaga birokrasi pemerintahan melalui jabatan fungsional. Artinya untuk meningkatkan pelayanan publik, struktur yang ada sekarang sudah tidak memadai lagi dan harus didukung oleh tenaga fungsional yang bermakna professional yang menguasai ilmu dan teknologi profesi yang bersangkutan dan terampil melaksanakannya.
Untuk mengembangkan program PKM jelas diperlukan jabatan fungsional PKM disamping tentunya tenaga jabatan struktural yang sudah ada di berbagai tingkatan administratif. Pada waktu itu di lingkungan kesehatan sendiri baru dibentuk beberapa tenaga jabatan fungsional seperti dokter, dokter gigi dan perawat. Lalu diikuti dengan tenaga professional yang bersifat umum seperti penata komputer, pustakawan, arsiparis, dll. Sedangkan di lingkungan pertanian misalnya dibentuk penyuluh pertanian, penyuluh perikanan, kehutanan dan lain-lain.
Pembentukan jabatan fungsional penyuluh Kesehatan masyarakat sebenarnya dimulai pada tahun 1989, tetapi baru intensif dilakukan pada tahun 1992. Selanjutnya. Proses pembahasannya melibatkan berbagai pihak seperti MENPAN, BAKN (sekarang BKN), Biro kepegawaian Depkes., Pusat PKM, Direktorat BPSM, Unit PKM Provinsi, Perguruan Tinggi, Organisasi Profesi bahkan sector-sektor lain yang sudah berpengalaman dalam membentuk dan mengembangkan jabatan fungsional masing-masing. Kendala utama yang dihadapi hádala pengakuan terhadap penyuluhan kesehatan sebagai sutau profesi.
Setelah melalui proses panjang dengan kerja keras dan melelahkan serta mengalami masa-masa yang sulit, akhirnya Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara (MENPAN) menetapkan terbentuknya Jabatan Fungsional Penyuluh Keshatan Masyarakat (PKM) pada tahun 2000 melalui Keputusan MENPAN No. 58/M.PAN/VIII/2000 tanggal 14 Agustus 200. Keptusan ini mengacu pada KEPPRES No. 87 Tahun 1999 tentang Rumpun Jabatan Pegawai negeri Sipil. Terbentuknya jabatn fungsional PKM ini dari awal kurang menjanjikan, karena sudah diberikan batasan bahwa sepanjang kondisi keuangan negara Belem memungkinkan makan tunjang jabatan tidak disediakan. Tetapi untunglah angka kreditnya sudah dapat diperhitungkan untuk kenaikan pangkat/jabatan.
Animo untuk menjadi pejabat fungsional tidak menggebu-gebu, karena kurang menarik atau menjanjikan walaupun sudah ditawarkan ingá ke daerah-daerah. Namur demikian masih ada sejumlah PNS kesehatan terutama di beberapa provinsi mengajukan diri untuk menjadi pejabat fungsional melalui proses inpassing (pemutihan). Proses ini berlangsung hinggá akhir tahun 2001, dan untuk selanjutnya diberi kesempatan untuk menjadi pejabat fungsional PKM dengan persayaratan melalui pengangkatan pertama kali seperti yang berlaku pada jabatan fungsional lain. Baru pada tahun 2004 dengan Keppres No. 5 tahun 2004 disediakan tunjangan jabatan fungsional lingkup rumpun kesehatan.
Pada awalnya, tenaga yang terjaring sekitar 200-an orang dan kini berdasarkan data bulan Februari 2005 telah terdaftar sebanyak kira-kira 856 orang yang terdiri dari 98 tenaga ahli dan 758 tenaga trampil. Penyebarannya kebanyakan tenaga ini berada paling jauh di tingkat kabupaten atau kota, malahan yang terbanyak berada pada di pusat dan provinsi. Sedangkan di puskesmas-puskesmas sebagai fron terdepan dari promosi kesehatan ketersedian tenaga PKM jauh daripada memadai.
Sebagai contoh, di Pusat Promosi Kesehatan diantara 75 pegawai terdapat 37 tenaga jabatan fungsional penyuluh kesehatan dan 5 arsiparis. Jabatan struktural berjumlah 11 orang, dan staff sebanyak 22 orang. Dari 37 orang ini terdiri dari 19 orang Penyuluh Kesehatan Ahli dan 18 orang Penyuluh Kesehatan Terampil. Masih ada beberapa orang pejabat fungsional PKM yang berada di Direktorat Kesehatan Komunitas (5 orang), Direktorat Gizi ( 7 orang), Direktorat Kesehatan Khusus 1 orang, Sekretariat Ditjen Binkesmas 4 orang, dan di UPT Pusat 9 orang.



Beberapa hal tentang Jabatan Fungsional PKM

Namanya memang Tenaga Penyuluh Kesehatan Masyarakat, tetapi dalam pengertian dapat dimengerti bahwa tenaga tersebut adalah juga tenaga promosi kesehatan. Dalam bab tentang Pengertian umum disebutkan bahwa Jabatan fungsional ádalah jabatan profesional sebagai pelaksana teknis fungsional pada unit tertentu. Sedangkan Penyuluh Keshatan Masyarakat ádalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tangungjawab dan hak secara penuh oleh pejabat yang berwenang untuk melakukan kegiatan penyuluhan keshatan masyarakat/promosi kesehatan secara profesional.
Kegiatan yang diemban oleh pejabat fungsional ini ádalah: Promosi Kesehatan/Penyuluhan Kesehatan Masyarakat yang bermakna sebagai proses pemberdayaan perorangan, keluarga dan masyarakat agar mereka mampu memelihara dan meningkatkan kesehatannya.
Persyaratan menjadi Penyuluh Kesehatan Masyarakat tentu yang bersangkutan sudah diangkat sebagai PNS, telah melaksanakan tugas PKM/PROMKES sekurang-kurangnya 2 tahun dan DP3 ( Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan) dalam 2 tahun terkahir bernilai baik. Pada awalnya tenaga fungsionalo PKM ini diangkat melalui Inpassing yang berakhir pada Bulan Desember 2001, dan selanjutnya untuk pengangkatan pertama kali adalah, PKM Terampil : Berijazah D III kesehatan señalan dengan kebutuhan di daerah, maka minimal pendidikan tersebut akan direvisi menjadi DI kesehatan. PKM Ahli : minimal berijazah D IV dan menduduki pangkat Penata Muda ( III a ). Jenjang kepangkatan dari PKM Terampil dari golongan II/b hingga III d, sedangkan PKM Ahli dari golongan III a hingga IV c.
Tugas pokok jafung PKM adalah : Penyuluh Kesehatan adalah melaksanakan: a). Advokasi, Bina Suasana, dan pemberdayaan masyarakat; b) melakukan penyebarluasan infromasi; c) membuat rancangan media; d) melakukan penlitian/pengkajian perilaku masyarakat yang berhubungan dengan kesehatan; e) merencanakan intervenís dalam rangka mengembangkan perilaku masyarakat yang mendukung kesehatan. Yang membedakan antara kedua jenis tenaga ini adalah : tugas dan kompetensi, kualifikasi pendidikan serta pangkat awal. Tugas PKMterampil meliputi kegiatan teknis operacional yang bersifat keterampilan,s edangkan PKM Ahli meliputi pengembangan pengetahuan, penerapan konsep dan teori, ilmu dan seni untuk pemecahan masalah dan proses pembelajaran secara sistematis.
Selanjutnya disebutkan bahwa Angka kredit : adalah statu angka yang diberikan berdasarkan penilaian atas prestasi yang sudah dicapai seorang penyuluh kesehatan masyarakat dalam mengerjakan kegiatan yang digunakan sebagai salah satu syarat pengangkatan dan kenaikan pangkat Penyuluh Kesehatan Masyarakat. Sedangkan mengenai Tim Penilai/Instansi yang berwenang dapat dibedakan sebagai berikut : Tim Penilai tingkat pusat dibentuk oleh Sekretaris Jenderal dan pada tingkat Direktorat/Unit oleh Kepala Pusat Promosi Kesehatan, sedangkan tingkat Provinsi oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, dan pada tingkat Kabupaten/kota oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Lingkup/ruang tugas dari jabatan ini meliputi tingkat pusat dan daerah sebagai berikut :

  • Pusat: Pusat Promosi Kesehatan dan Unit lain di dalam dan di luar Depkes.

  • Daerah Provinsi : Unit yang mengurusi PROMKES/PKM/PSM dan unit lain di lingkungan Dinas Kesehatan Provinsi.

  • Daerah Kabupaten/Kota : unit yang mengurusi PROMKES/PKM/PSM dan unit lainnya.

  • Rumah Sakit Umum : Unit PROMKES/PKM dan unit lainnya.

  • Puskesmas : yang melaksanakan Promkes/PKM/PSM/Pemberdayaan masyarakat.

  • Unit lain : Balai Kesehatan, Balai Diklat Kesehatan dll.

  • Masyarakat : Bantuan untuk swasta dan LSM.

Organisasi Profesi PPKMI

Di satu pihak dengan semakin berkembangnya program PKM/Promosi Kesehatan dengan organisasi formal pengelola di belakangnya dan di lain pihak meningkatnya kesadaran dan kecerdasan masyarakat di bidang kesehatan mempersyaratkan bahwa tenaga PKM/Promosi kesehatan haruslah profesional dan dapat diandalkan. Untuk itu diperlukan faktor pendukung seperti organisasi profesi yang mampu menghimpun dan membina anggotanya sehingga memiliki keahlian dan ketrampilan yang mumpuni dan sekaligus dapat mengangkat citra PKM/Promosi kesehatan didalam lingkungan kesehatan maupun masyarakat pada umumnya.
Menyadari akan hal ini, maka pada tahun 1988 sekelompok ahli dan peminat pendidikan dan promosi kesehatan masyarakat mendirikan suatu organisasi profesi bernama Perkumpulan Pendidikan Kesehatan Masyarakat Indonesia (PPKMI) yang kemudian disempurnakan menjadi Perkumpulan Promosi dan Pendidikan Kesehatan Masyarakat Indonesia (Perkumpulan PPKMI). Organisasi ini disahkan melalui Akte Notaris Eko Hari Poernomo,SH no. 3 tgl 1 Agustuis 2003. Pada hakekatnya organisasi ini tidaklah sepenuhnya mandiri tapi bernaung dibawah organisasi Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI).
Hubungan ini menggambarkan eratnya hubungan antara promosi kesehatan dengan kesehatan masyarakat pada umumnya. Dengan terbentuknya organisasi ini, dirumuskan pula visi, misi, tujuan, strategi dan program-program pokok PPKMI. Visi PPKMI adalah : Perilaku hidup sehat bagi masyarakat Indonesia guna terciptanya kualitas sumber daya manusia Indonesia yang optimal. Misinya adalah : Meningkatkan kemampuan profesional di bidang promosi dan pendidikan kesehatan masyarakat agar berperan optimal dalam pembangunan kesehatan.
Sedangkan Tujuan PPKMI adalah : 1). Berperan aktif dalam pembangunan kesehatan dengan menerapkan promosi dan pendidikan kesehatan masyarakat; 2). Mengembangkan ilmu pengetahuan dan ketrampilan di bidang promosi dan pendidikan kesehatan masyarakat melalui seminar, simposium, sarasehan, penelitian dan pelatihan; 3). Meningkatkan kemampuan organisasi dan kesejahteraan anggotanya; 4). Mengatur standardisasi dan akreditasi profesi; 5). Memberikan umpan balik/masukan pada kebijakan.
Adapun Strategi yang ditetapkan adalah : 1) Advokasi di bidang kesehatan dengan menempatkan bidang kesehatan sebagai agenda pokok dalam kebijakan yang berpengaruh pada masyarakat luas; 2) Meningkatkan dukungan sosial dengan menekankan pada terciptanya lingkungan yang mendukung serta kemitraan dan jaringan kerja yang dapat memberikan dukungan untuk terciptanya perilaku hidup sehat. 3) Pemberdayaan masyarakat dengan memberikan bekal pada setiap individu, keluarga dan kelompok yang ada di masyarakat akan pengetahuan dan kemampuan untuk membuat keputusan yang tepat dalam pemecahan masalah kesehatan perorangan maupun kesehatan masyarakat umum.
Selanjutnya juga dirumuskan Program Pokok: 1) Mengembangkan bidang penelitian dan pengembangan program promosi kesehatan; 2) Mengembangkan program peningkatan kualitas SDM sehingga mampu berperan dalam upaya promosi kesehatan secara optimal; 3) Melakukan kemitraan dengan berbagai pihak terkait dalam mendukung upaya promosi kesehatan berdasarkan prinsip kesetaraan, keterbukaan, dan saling menguntungkan.
Selama ini organisasi tersebut telah terlibat dalam berbagai kegiatan antara lain: 1) Kegiatan Penelitian berupa pengembangan dan penyempurnaan indikator perilaku hidup bersih dan sehat tahun 2001-2002 dalam kerjasama dengan Pusat Promosi Kesehatan, Litbangkes Depkes dan BPS; 2) Kegiatan Pelatihan dalam bentuk pelatihan tenaga PKM trampil dan ahli di tingkat pusat dan provinsi tahun 2002, 2003 bekerjasama dengan Pusat Promosi Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi dan Diklatkes Depkes. 3) Pengembangan Organisasi menyangkut penyusunan etika profesi promosi, penyuluh dan pendidik kesehatan masyarakat Indonesia dan terlibat dalam penyelenggaraan Konferensi Nasional Promosi Kesehatan; 4) Menyiapkan tenaga konsultan.
Dalam hal konferensi nasional itu PPKMI bekerjasama dengan Pusat Promosi Kesehatan Depkes telah tiga kali menyelenggarakan konferensi nasional promosi kesehatan. Pertama di Hotel Horizon, Ancol, pada tahun 1997, bersamaan dengan Konferensi Internasional Promosi Kesehatan ke-4. Kedua di hotel Bidakara, Jakarta pada tahun 2001 dan ketiga di Yogyakarta pada tahun 2004.
Pengurus Perkumpulan PPKMI periode 2002-2005 (sekarang) dipimpin oleh dr. Zulasmi Mamdi, MPH selaku Ketua Umum. Sedangkan Ketua Umum pada Pengurus yang pertama adalah dr. I.B.Mantra, MPH, MSc (alm). Keanggotaannya terbuka pada mereka yang terkait dengan promosi kesehatan/pendidikan kesehatan termasuk yang berminat.



International Union for Health Promotion and Education (IUHPE)

Organisasi internasional yang menangani pendidikan dan promosi kesehatan disebut International Union for Health Promotion and Education (IUHPE) yang pengurusnya berkedudukan di Paris. Organisasi ini telah menyelenggarakan 18 kali konferensi internasional. Empat kali yang terakhir yaitu yang ke XV di Ciba, Jepang tahun 1995, ke XVI di Puerto Rico, AS tahun 1998, ke XVII di Paris, Prancis tahun 2001, dan terakhir ke XVIII di Melbourne, Australia tahun 2004. Rencananya konferensi yang ke XIX akan diselenggarakan di Canada pada tahun 2007. Peserta konferensi adalah individu yang berminat dan melamar kepada panitia karena konferensi ini bersifat keilmuan. Peserta Indonesia biasanya menghadiri konferensi-konferensi ini kecuali di Puerto Rico tahun 1998 karena situasi negara yang tidak kondusif.
Dalam pertemuan internasional itu dibahas berbagai pengembangan dan keberhasilan kegiatan promosi kesehatan di seluruh bagian dunia, baik di negera maju maupun negara yang sedang berkembang. Disampaikan berbagai studi kasus, serta disampaikan pula hasil-hasil penelitian yang berkaitan dengan promosi kesehatan.
IUHPE ini mempunyai terbitan berupa jurnal tiga bulanan yang menggunakan tiga bahasa (Inggeris, Perancis dan Spanyol), bernama: Promotion & Education. Pada konferensi di Melbourne yang diselenggarakan pada tahun 2004 telah dipercaya untuk memimpin IUHPE selama tiga tahun ke depan adalah : Maurice B. Mitterlmark dari Norwegia. Alamat IUHPE adalah : IUHPE/UIPES – 42, boulevard de la Liberation 93203 Saint-Denis Cedex – France. Telepon: 33 (0)1 48 1371 20; Fax: 33 (0)1 48 09 17 67. Email: jcadinu@iuhpe.org. Sayang sekali sejak dulu Indonesia kurang mengambil bagian aktif dan kurang tampil dalam IUHPE ini.



Bagaimana ke depan

Demikianlah sebenarnya masalah SDM ini masalah kunci. Seharusnyalah kita mempersiapkan SDM Promosi Kesehatan ini dengan sebaik-baiknya. Kita semua perlu melakukan introspeksi: Apakah kita ini telah memberikan kontribusi bagi pembangunan khususnya bidang kesehatan? Kalau ada, seberapa jauhkah kontribusi itu?
Untuk menghadapi masa depan, tidak ada lain kecuali kita harus meningkatkan kuantitas dan terutama kualitas SDM Promosi kesehatan ini secara terus menerus, bersinambungan dan berkelanjutan. SDM Promosi Kesehatan hendaknya mempunyai kecerdasan intelektual, emosional, sosial dan spiritual. SDM yang mempunyai kepekaan tinggi (dimensi sosial), yang mau bekerja keras (dimensi fisik), secara cerdas (dimensi intelektual) dan ihlas (dimensi spiritual).
SDM tersebut selanjutnya diharapkan mampu melakukan berbagai peran.

  1. Peran sebagai pendidik (educator) yang dengan sabar melalukan upaya perubahan perilaku, melalui upaya pendekatan educatif, community development, community organization, dll. Peran ini sering dilakukan secara “tut wuri handayani” atau dengan melakukan pendorongan dari belakang.

  2. Peran sebagai “penjaja” (social marketer), yang harus dengan penuh percaya diri dan ulet mengajak masyarakat untuk menerima dan pempraktekkan pesan-pesan sehat yang dijajakannya. Peran ini harus dilakukan secara lantang melalui berbagai media, dan agar lebih efektif harus disertai contoh atau ketauladanan dari sipenjaja sendiri. Dengan sendirinya ia memerankan diri di depan sebagai contoh, atau “ing ngarsa sung tulodo”.

  3. Peran sebagai pendamping, penasehat, atau “advocat”, yang harus dengan sabar dan cerdas mendampingi, membujuk, memantau atau “mengawal” para pembuat kebijakan agar keputusan yang dibuatnya selalu berdampak positif terhadap kesehatan. Peran ini agar efektif harus dilakukan dengan menempatkan diri kita “setara” (dalam arti keluasan wawasan, “respect” di masyarakat, dll) dengan para pembuat kebijakan tersebut. Dengan perkataan lain, harus dapat memerankan diri dalam koridor: “ing madya mangun karsa”.

Dari semuanya itu, kata kuncinya adalah semangat dan tekad pantang menyerah. Kita perlu belajar dengan apa yang disampaikan oleh Thomas Alfa Edison, sebagaimana dikutip pada awal bab ini.





PRO AKSI MASA DEPAN
(Kurun Waktu 2005 – Y.a.d.)





Dalam menghadapi masa depan perlu melakukan analisis situasi dan kecenderungan serta mengenali kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang ada dan yang potensiil akan ada. Berbekal pengalaman yang cukup panjang dari perjalanan promosi kesehatan dari masa para kemerdekaan sampai sekarang, banyak yang dapat dikemukakan tentang hal-hal tersebut. Selanjutnya kekuatan yang ada perlu dikonsolidasikan dan ditingkatkan, kelemahan perlu dikenali dan diperbaiki, peluang perlu dimanfaatkan, sedangkan tantangan harus dihadapi dengan sabar dan dengan semangat pantang menyerah.
Selanjutnya berdasarkan itu semua kita memantapkan langkah untuk menjalani masa depan. Hal-hal tersebut telah diuraikan dengan jelas dalam Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan, yang ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1193 Tahun 2004. Dalam bab ini, sebagian dari uraian tersebut akan dikutip di sini dengan penambahan dan pengurangan di sana sini.

Konsep Yang Mantap

Sesuai the Bangkok Charter, Promosi kesehatan adalah proses pemberdayaan manusia untuk memelihara dan meningkatkan kesehatannya termasuk faktor-faktor yang mempengaruhinya, sehingga dapat memperbaiki derajat kesehatannya. Berdasarkan pengertian tersebut, Promosi kesehatan merupakan konsep sehat yang positif dan inklusif yang menekankan pada kualitas hidup, mental dan spiritual yang sebaik-baiknya. Promosi kesehatan, karenanya merupakan konsep yang efektif untuk meningkatkan kesehatan dan kualitas sumber daya manusia.
Sehubungan dengan itu Promosi Kesehatan merupakan solusi yang sangat tepat terhadap permasalahan dan tantangan pembangunan kesehatan sekarang dan yang akan datang. Salah satu hak asasi setiap manusia adalah untuk memperoleh kualitas kesehatan yang setinggi-tingginya, sebagai prasyarat utama untuk memperoleh kualitas sumber daya manusia yang sebaik-baiknya. Sedangkan pada hakekatnya pembangunan adalah upaya untuk meningkatkan kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) itu disamping mendaya gunakan SDA (Sumber Daya Alam) untuk sebesar-besar manfaat bagi manusia secara berkeadaban, yaitu dengan melestarikan dan tidak merusaknya.
Konsep Promosi Kesehatan tersebut telah teruji dan dapat menggerakkan peran aktif masyarakat dalam upaya mereka mememelihara dan meningkatkan kesehatannya sendiri dan lingkungannya. Promosi Kesehatan dengan berbagai model pelaksanaannya telah menempatkan masyarakat bukan sebagai obyek tetapi subyek, bukan sasaran tetapi pelaku, dan bukan pasif menunggu tetapi aktif berperan dalam upaya dan pembangunan kesehatan bagi diri, masyarakat dan lingkungannya.
Konsep Promosi Kesehatan tersebut juga terbukti sesuai bukan hanya untuk masyarakat di negara yang telah berkembang, tetapi juga di negara yang sedang berkembang. Ia juga dapat dilakukan baik di masyarakat perkotaan maupun di perdesaan, bagi masyarakat yang tergolong kaya, juga bagi masyarakat yang tergolong miskin. Demikian pula Promosi Kesehatan juga perlu dilakukan oleh mereka yang merasa sehat, agak sehat, atau yang merasa sakit. Karena semua saja, perlu memelihara dan/atau meningkatkan derajat kesehatannya dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya manusia dan hidup secara produktif dan berkualitas.
Konsep Promosi Kesehatan akan semakin mantap dengan adanya dukungan WHO dan dunia internasional, apalagi dengan selalu diselenggarakannya konferensi dunia (direncanakan setiap tiga tahun). Demikian pula dengan adanya dukungan organisasi profesi internasional yang juga menyelenggarakan konferensi internasional secara tiga tahunan. Dalam konferensi internasional tersebut konsep beserta aplikasinya di lapangan serta kendala-kendalanya selalu dibahas dan dipertajam. Belum lagi WHO juga sering mengadakan pertemuan konsultasi untuk membahas penyelenggaraan promosi kesehatan di berbagai negara.
Dengan konsep yang mantap dan terus menerus dipertajam ini, Promosi Kesehatan diharapkan dapat melangkah ke masa depan dengan mantap. Namun demikian konsep tersebut perlu terus menerus direview dan disesuaikan dengan keadaan serta perkembangan di masa depan.



Visi, Misi Dan Strategi Yang Jelas

Promosi Kesehatan di Indonesia telah mempunyai visi, misi dan strategi yang jelas, sebagaimana tertuang dalam SK Menkes RI No. 1193/2004 tentang Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan. Visi, misi dan strategi tersebut sejalan dan bersama program kesehatan lainnya mengisi pembangunan kesehatan dalam kerangka Paradigma Sehat menuju Visi Indonesia Sehat.
Visi Promosi Kesehatan adalah: “PHBS 2010”, yang mengindikasikan tentang terwujudnya masyarakat Indonesia baru yang berbudaya sehat. Visi tersebut adalah benar-benar visioner, menunjukkan arah, harapan yang berbau impian, tetapi bukannya tidak mungkin untuk dicapai. Visi tersebut juga menunjukkan dinamika atau gerak maju dari suasana lama (yang ingin diperbaiki) ke suasana baru (yang ingin dicapai). Visi tersebut juga menunjukkan bahwa bidang garapan Promosi kesehatan adalah aspek budaya (kultur), yang menjanjikan perubahan dari dalam diri manusia dalam interaksinya dengan lingkungannya dan karenanya bersifat lebih lestari.
Misi Promosi Kesehatan yang ditetapkan adalah: (1) Memberdayakan individu, keluarga dan masyarakat untuk hidup sehat; (2) Membina suasana atau lingkungan yang kondusif bagi terciptanya phbs di masyarakat; (3) Melakukan advokasi kepada para pengambil keputusan dan penentu kebijakan. Misi tersebut telah menjelaskan tentang apa yang harus dan perlu dilakukan oleh Promosi Kesehatan dalam mencapai visinya. Misi tersebut juga menjelaskan fokus upaya dan kegiatan yang perlu dilakukan. Dari misi tersebut jelas bahwa berbagai kegiatan harus dilakukan serempak.
Selanjutnya strategi Promosi Kesehatan yang selama ini dikenal adalah ABG, yaitu: Advokasi, Bina Suasana dan Gerakan Pemberdayaan Masyarakat. Ketiga strategi tersebut dengan jelas menunjukkan bagaimana cara menjalankan misi dalam rangka mencapai visi. Strategi tersebut juga menunjukkan ketiga strata masyarakat yang perlu digarap. Strata primer adalah masyarakat langsung perlu digerakkan peran aktifnya melalui upaya gerakan atau pemberdayaan masyarakat (community development, PKMD, Posyandu, Poskestren, Pos UKS, dll). Strata sekunder adalah para pembuat opini di masyarakat, perlu dibina atau diajak bersama untuk menumbuhkan norma perilaku atau budaya baru agar diteladani masyarakat. Ini dilakukan melalui media massa, media tradisonal, adat, atau media apa saja sesuai dengan keadaan, masalah dan potensi setempat. Sedangkan strata tertier adalah para pembuat keputusan dan penentu kebijakan, yang perlu dilakukan advokasi, melalui berbagai cara pendekatan sesuai keadaan, masalah dan potensi yang ada. Ini dilakukan agar kebijakan yang dibuat berwawasan sehat, yang memberikan dampak positif bagi kesehatan.
Dengan visi, misi dan strategi seperti ini, Promosi Kesehatan juga jelas akan melangkah dengan mantapnya di masa depan. Namun sebagaimana konsep Promosi kesehatan yang disebutkan di muka, visi, misi dan strategi tersebut juga harus dapat dioperasionalkan secara lebih membumi di lapangan, sesuai keadaan, masalah dan potensi setempat.



Ujung Tombak Pembangunan Kesehatan Dan Pilar Indonesia Sehat

Tujuan program Promosi Kesehatan pada dasarnya adalah untuk meningkatkan kemampuan masyarakat untuk hidup sehat. Tujuan ini sangat mendukung bahkan mempunyai kemiripan dengan rumusan tujuan pembangunan kesehatan sebagaimana yang dirumuskan dalam UU Kesehatan, baik UU Kesehatan Tahun 1960, UU Kesehatan Tahun 1992, maupun Tujuan dalam SKN Baru, yang direncanakan sebagai naskah akademis Rancangan UU Kesehatan yang akan datang. Ini menunjukkan bahwa Promosi Kesehatan pada hakekatnya merupakan ujung tombak pembangunan kesehatan. Dapat dikatakan bahwa semua upaya dan program kesehatan, sebenarnya perlu diawali dengan upaya atau program kesehatan. Dengan perkataan lain, promosi kesehatan menyiapkan masyarakat agar menjadi lebih sadar, paham, dan siap untuk berbuat. Setelah itu diikuti atau dibarengi dengan program-program kesehatan yang memberikan layanan teknis kesehatan. Maka pantaslah apabila Promosi Kesehatan dinyatakan sebagai ujung tombak pembangunan kesehatan.
Selanjutnya Promosi Kesehatan yang mempunyai bidang garapan perilaku hidup sehat adalah satu dari tiga pilar Indonesia Sehat. Pilar lainnya adalah: Lingkungan Sehat dan Pelayanan Kesehatan yang bermutu, adil dan merata. Sebagai salah satu pilar Indonesia Sehat, Promosi Kesehatan jelas mempunyai peran yang sangat menentukan dalam pencapaian visi Indonesia Sehat. Hal ini juga diperkokoh dengan ditetapkannya Promosi Kesehatan sebagai salah satu program unggulan. Sedangkan di dalam PROPENAS dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (2004-2009) serta dalam RENSTRA Departemen Kesehatan (2005-2009) Promosi Kesehatan menempati prioritas dalam urutan pertama. Hal ini juga tercermin dalam alokasi anggaran yang meningkat cukup tajam mulai tahun 2005.
Perlu disebutkan pula bahwa Upaya pemberdayaan masyarakat yang merupakan bidang garapan Promosi Kesehatan ditetapkan seagai salah satu sub sistem dalam Sistem Kesehatan Nasional yang baru. Promosi kesehatan (penyuluhan kesehatan) juga ditetapkan dalam Stándar Pelayanan Minimal (SPM) bidang kesehatan untuk kabupaten/kota; Promosi Kesehatan juga ditetapkan sebagai pelayanan wajib Puskesmas. Selain itu juga telah ditetapkan jabatan fungsional Penyuluh Kesehatan Masyarakat dan tunjuangan jabatannyapun telah diberikan. Ini semua menunjukkan bahwa peran Promoisi Kesehatan dalam pembangunan kesehatan pada masa yang akan datang tetap penting dan karenanya memerlukan perhatian lebih saksama. Namun dalam operasionalnya di lapangan, diperlukan kepekaan yang tinggi dari segenap petugasnya serta diperlukan kreatifitas dalam menerjemahkannya sesuai keadaan, masalah dan potensi setempat.



Metode Dan Tehnik Yang Handal

Melalui pengalaman yang cukup panjang, dan dengan dukungan jaringan kemitraan yang cukup kuat dari dunia internasional, Promosi Kesehatan mempunyai berbagai metode dan tehnik yang cukup handal dalam pemberdayaan masyarakat. Itu semua telah dituangkan dalam berbagai panduan atau pedoman tertulis, seperti: Panduan Daerah Kerja Intensif PKM, Pendekatan Edukatif, KIE, Panduan PKMD, Penyelenggaraan Posyandu, ARRIF, PHBS, Panduan Advokasi, Panduan Kampanye atau sosialisasi program kesehatan (dalam Bina Susana), dll.
Dalam kaitan itu juga telah diselenggarakan pelatihan dan atau sosialisasi panduan atau pedoman tersebut bagi para pejabat dan pelaksana di daerah. Demikian pula telah dikembangkan daerah-daerah percontohan atau uji coba di beberapa daerah. Selain itu juga telah dikembangkan proto type media, misalnya untuk : Kesehatan Keluarga dan Gizi, Garam Yodium, Kawasan Tanpa Rokok, HIV/AIDS, dll. Selain itu, bekerjasama dengan Badan Litbang Depkes dan BPS juga telah dikembangkan sistem surveilans perilaku beresiko terpadu dan sistem informasi PHBS. Dalam kaitan itu telah dilakukan pemetaan PHBS di berbagai daerah.
Selanjutnya dalam berbagai konferensi internasional/dunia tentang promosi kesehatan, metode dann tehnik promosi kesehatan tersebut juga selalu memperoleh perhatian. Demikian pula pada pertemuan-pertemuan nasional selalu membahas inovasi atau setidaknya improvisasi metode dan tehnik yang dilakukan oleh berbagai daerah, program atau LSM. Tanpa mengurangi apresiasi terhadap metode dan tehnik yang telah ada dan yang dikembangkan selama ini, perlu pula terus menerus dikembangkan metode dan tehnik yang lebih sesuai untuk masa yang akan datang. Namun demikian, apabila diperlukan dapat pula menghidupkan, memberi “ruh” atau semangat baru (revitalisasi) metode dan tehnik yang telah ada, misalnya : revitalisasi PKMD, dsb.



Kemitraan Dan Jaringan Yang Luas

Promosi Kesehatan mengembangkan kerjasama dengan berbagai pihak dalam model jaringan kemitraan. Kerjasama dengan model Jaringan dan/atau Kemitraan ini membuat kerjasama menjadi lebih hidup dan dinamis. Dalam jaringan dan/atau kemitraan ini tidak perlu ada organisasi yang kaku dan mekanisme kerja yang baku. Yang penting jaringan dan /atau kemitraan ini dikembankan atas dasar kesetaraan (equity), keterbukaan (transparancy) dan saling memberi manfaat (mutual benefit). Pada saat ini Promosi Kesehatan mempunyai jaringan kemitraan cukup luas.
Kemitraan dengan berbagai program kesehatan, adalah kerjasama dalam menggarap pesan-pesan kesehatan. Setiap program kesehatan pasti memerlukan dukungan aspek perilaku yang merupakan sisi lain dari tehnis program (the other side of the coin). Kemitraan seperti ini pada masa yang akan datang tentu akan perlu terus menerus dilakukan, karena program kesehatan tanpa promosi kesehatan akan buta, sebaliknya promosi kesehatan tanpa program kesehatan akan lumpuh.
Kemitraan dengan lintas sektor, adalah kerjasama dengan sektor di luar kesehatan. Kerjasama tersebut terutama untuk saling memberi dukungan dalam membuat kebijakan yang sehat serta mensosialisasikannya kepada masyarakat luas. Kemitraan ini pada masa yang akan datang akan dan perlu terus menerus dikembangkan karena masalah kesehatan tidak dapat dipisahkan dari masalah lain di luar bidang kesehatan. Masalah-masalah tersebut akan saling mempengaruhi, dan karenanya perlu saling memberi dukungan.
Kemitraan dengan Organisasi Kemasyarakatan, Organisasi Profesi dan Lembaga Swadaya Masyarakat, adalah kerjasama dalam memberdayakan masyarakat di bidang kesehatan. Di sini dapat saling bertukar informasi dan saling belajar tentang berbagai hal. Fokusnya adalah agar masyarakat dapat lebih berdaya dalam mengatasi, melindungi dan meningkatkan kesehatan diri dan lingkungannya. Dalam kaitan itu masyarakat juga diharapkan berdaya atau mampu memberikan masukan serta mengawasi upaya kesehatan yang dilakukan pemerintah. Baik melalui “koalisi”, “wali amanah” ataupun “dewan penyantun” yang dibentuk di tingkat provinsi, kabupaten atau kecamatan.
Kemitraan dengan pihak swasta dilakukan untuk menjalin kerjasama yang saling menguntungkan dalam pengembangan Sumber Daya Manusia, terutama di bidang kesehatan. Kerjasama tersebut juga termasuk dalam menghimpun sumber daya yang diperlukan untuk mendukung upaya kesehatan dalam rangka pengembangan SDM secara keseluruhan. Kemitraan ini jelas perlu dikembangkan lebih lanjut, karena pihak swasta pada umumnya juga memerlukan manusia yang sehat agar dapat menggunakan produk dan jasanya.
Kemitraan-kemitraan tersebut agar lebih berhasil guna dan berdaya guna diwadahi dalam suatu jaringan, yang memungkinkan pihak-pihak yang bermitra dapat berinteraksi secara lebih leluasa kapan dan di mana saja memerlukannya.
Selain jaringan kemitraan di tingkat nasional, juga ada kemitraan antara Pusat dan Daerah, yang juga dikembangkan atas dasar kesetaraan, keterbukaan dan saling menguntungkan, sesuai dengan era desentralisasi sekarang ini. Selain itu juga ada jaringan kemitraan regional dan global, seperti dengan sesama negara ASEAN, dengan negara-negara anggota Mega Country Network, dengan organisasi profesi internasional, dll. Jaringan kemitraan ini juga terus menerus perlu dikembankan, mengingat batas-batas antar negara kini sudah menjadi semakin tipis dan longgar.



SDM Promosi Kesehatan

Pada saat ini ada kurang lebih 1.000 orang bekerja sebagai pengelola promosi kesehatan di pusat dan daerah, walaupun sebagian masih merupakan tenaga rangkap. Kualitas SDM pengelola promosi kesehatan juga telah ditingkatkan dan telah ditetapkan adanya jabatan fungsional Penyuluh Kesehatan Masyarakat (PKM). Tunjangan jabatan fungsional juga telah keluar sejak akhir tahun 2004.
Pendidikan dan pelatihan dalam rangka peningkatan kualitas tenaga juga selalu diselenggarakan setiap tahun. Pada tahun 2002 terdapat 50 orang lebih tenaga pengelola promosi kesehatan pusat dan daerah yang mengikuti pendidikan formal, baik pendidikan Diploma, Sarjana maupun Pasca Sarjana. Sedangkan 600 orang lebih mengikuti pelatihan, baik pelatihan promosi kesehatan maupun tehnis kesehatan.
Dengan adanya otonomi daerah, kebijakan penempatan tenaga sangat tergantung pada daerah masing-masing. Dalam kaitan itu banyak tenaga promosi kesehatan atau yang dipersiapkan menjadi tenaga promosi kesehatan dimutasi ke tempat lain, dan sebagai gantinya pos tersebut diisi oleh tenaga baru yang belum memahami tugas promosi kesehatan. Selain itu pada era 1970 an dahulu di Dinas Kesehatan Kabupaten ada Wakil koordinator PKM (koordinatornya adalah Kepala Dinas), yang mengkoordinasikan seksi-seksi tehnis di bidang penyuluhan kesehatan. Tenaga tersebut kiranya perlu dihidupkan lagi. Selanjutnya pada saat ini tugas penyuluhan/promosi kesehatan di Puskesmas sebagian besar dirangkap oleh tenaga sanitarian, perawat, atau tenaga lainnya.
Di masyarakat memang ada tenaga kader, yang banyak membantu kegiatan promosi kesehatan di masyarakat. Dengan tetap mengapresiasi terhadap apa yang mereka lakukan, tetapi sebagian besar mereka bukan tenaga promosi kesehatan yang seharusnya dapat merencanakan, melaksanakan, memantau dan menilai kegiatan promosi kesehatan di lapangan. Apalagi angka drop out kader sejak era reformasi besar sekali.
Pada waktu yang akan datang perlu diangkat tenaga khusus yang mengurusi promosi atau penyuluhan kesehatan di Puskesmas ini. Hal itu mengingat promosi kesehatan merupakan salah satu layanan wajib yang harus dilakukan di setiap Puskesmas. Suksesnya upaya promosi kesehatan dan pembangunan kesehatan pada umumnya sangat dipengaruhi oleh keberadaan tenaga ini.



Banyak Kelemahan Dan Masalah

Banyak sekali kelemahan yang harus diperbaiki untuk menghadapi masa depan. Pertama adalah SDM Promosi kesehatan. Selain baik dari segi jumlah maupun mutunya belum memadai, jabatan fungsional PKM juga belum mantap. Selanjutnya saling hubung (linkage) di bidang promosi kesehatan antara pusat, provinsi dan kabupaten/kota sangat kurang. Apa yang dipikirkan dan dilakukan di pusat sering tidak berhubungan dengan apa yang dipikirkan dan dilakukan di provinsi, kabupaten/kota. Demikian pula sebaliknya.
Sementara itu posisi organisasi pengelola kesehatan juga belum stándar: Ada yang berada di posisi lini, ada yang berada di posisi penunjang. Ada yang langsung dibawah pimpinan unit, ada pula yang berada dibawah sub unit. Selanjutnya Promosi kesehatan juga belum terintegrasi benar dengan program-program kesehatan. Promosi kesehatan juga belum dapat berperan di arus tengah pembangunan kesehatan. Sedangkan sistem informasi perilaku sehat belum berkembang sepenuhnya. Promosi kesehatan juga belum sepenuhnya berdasarkan fakta (evidence based).
Selain itu masih banyak masalah khususnya dalam pengoperasionalan misi dan strategi, yang berkaitan dengan pemberdayaan masyarakat, bina suasana dan advokasi. Berbagai permasalahan tersebut antara lain adalah sebagai berikut:


  • Permasalahan yang berkaitan dengan Pemberdayaan Masyarakat, a.l. :

    1. Pemberdayaan potensi masyarakat termasuk pemberdayaan perempuan belum optimal, karena masih sebatas pada mobilisasi dean penggerakan peran serta masyarakat serta belum terorganisir; Kemampuan masyarakat dalam mengemukakan pendapat dan mengambil keputusan tentang kesehatan, menyampaikan usulan atau desakan maupun mengkritisi upaya kesehatan belum berkembang.

    2. Pemberdayaan masyarakat dalam bentuk pelayanan masyarakat, advokasi kesehatan dan pengawasan sosial dalam pembangunan kesehatan juga belum banyak berkembang.

    3. Jaringan kemitraan dengan berbagai pihak termasuk sektor pemerintahan dan dunia usaha belum optimal. Kemitraan yang telah dibangun belum menampakkan kepekaan, kepedulian dan rasa memiliki terhadap permasalahan dan upaya kesehatan.

    4. Potensi masyarakat baik berupa organisasi, tenaga, dana, sarana, teknologi maupun dalam mekanisme pengambilan keputusan belum secara optimal dimanfaatkan untuk percepatan program kesehatan.

    5. Dinamika masyarakat yang dipengaruhi politik dan ekonomi dewasa ini telah memberikan dampak negatif terhadap sikap dan perilaku sehat masyarakat Indonesia.

    6. Perkembangan peran serta masyarakat di bidang kesehatan (PKMD, sekarang Upaya Kesehatan Bersumber Masyarakat) saat ini menurun karena berkurangnya jumlah (drop out) kader yang aktif, antara lain akibat kurangnya supervisi dan pembinaan oleh Puskesmas dan Dinas Kesehatan Kabupaten/ Kota.

    7. Sementara itu kebijakan pemberdayaan belum mantap serta implementasinya di lapangan belum konsisten. Pada umumnya masyarakat masih diperlakukan sebagai obyek dalam berbagai kegiatan. Sedangkan di tingkat Pusat pengorganisasian pemberdayaan masyarakat perlu dikoordinasikan khususnya antara Pusat Promkes dan Dit. Kesehatan Komunitas.



  • Permasalahan tentang Bina Suasana, a.l. :

    1. Kampanye untuk membangun opini masyarakat yang dilakukan dengan berbagai iklan layanan masyarakat (yang sering dibintangi artis terkenal, atau tokoh masyarakat), melalui televisi, radio, dll telah menghabiskan dana cukup besar, tetapi belum tahu sampai seberapa jauh keberhasilan dan efektifitasnya.

    2. Demikian pula berbagai poster, leaflet, kalender dan berbagai kegiatan yang dilakukan di daerah seperti: lomba-lomba, tabligh akbar, dll masih perlu dipertanyakan keberhasilannya dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat, apalagi untuk dapat merubah perilaku positif masyarakat.

    3. Berbagai kegiatan dalam rangka bina suasana tersebut (yang kiranya berbeda dengan upaya mempromosikan barang konsumsi) belum sepenuhnya merupakan upaya yang berkelanjutan, serta terpadu dengan upaya lain, terutama dengan upaya pemberdayaan masyarakat atau pengorganisasian secara langsung oleh masyarakat itu sendiri.

    4. Upaya-upaya kreatif sesuai dengan keadaan, masalah, potensi dan budaya daerah belum sepenuhnya dikembangkan.

    5. Pengkajian lebih lanjut tentang dukungan kegiatan bina suasana (yang memerlukan dana besar) dalam perubahan perilaku masyarakat belum dilakukan, termasuk tentang pemilihan jenis media, tokoh atau bintang yang tampil, dll.


  • Permasalahan Advokasi, a.l. :

    1. Adokasi sering tidak dilakukan secara menyeluruh, terpadu dan berkelanjutan, serta terkesan sepotong-sepotong sehingga hasilnya tidak maksimal.

    2. Dalam banyak kasus, kerja advokasi sering terhenti di tengah jalan, atau rencana yang telah disusun tidak dapat dikerjakan maksimal, karena kurangnya dukungan dana.

    3. Advokasi sebenarnya memerlukan tokoh yang berboot, media dan sarana yang memadai, sedangkan hal-hal itu tidak dipenuhi secara semestinya. Dengan demikian hasilnya juga kurang menggembirakan.



Banyak Peluang

Selain hal-hal tersebut di atas perlu dikemukakan pula banyaknya peluang yang ada. Globalisasi dan kemajuan IPTEK khususnya di bidang telekomunikasi dan informatika merupakan peluang yang perlu dimanfaatkan untuk mengembangkan promosi kesehatan. Sistem pemerintahan desentralisasi yang memberikan bobot pada otonomi daerah memungkinkan berkembangnya promosi kesehatan sesuai dengan kebutuhan setempat. Selanjutnya digalakkannya praktik good governance akan memacu peningkatan kemitraan antara pemerintah, masyarakat dan dunia usaha.
Sementara itu tatanan yang tersebar secara luas dan merata di masyarakat (sekolah, tempat kerja, tempat umum, sarana kesehatan, juga tempat tinggal) merupakan lahan yang perlu dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya. Pengelola dari masing-masing tatanan tersebut perlu diajak sebagai mitra untuk menggerakkan perilaku hidup sehat di masing-masing tatanan tersebut.
Dorongan dari dunia internasional juga dapat dimanfaatkan untuk memacu promosi kesehatan di Indonesia. Kesepakatan-kesepakatan global, khususnya yang berkaitan dengan promosi kesehatan dan peningkatan perilaku sehat perlu dikaji kembali (direview) dan ditindak lanjuti. Hal itu misalnya yang tertuang dalam Deklarasi Jakarta (1997), Pernyataan para Menteri Kesehatan di Mexiko (2000), Deklarasi Vientiane tentang Healthy ASEAN Lifestyle (2002), the Bangkok Charter (2005), dll.



Berbagai Tantangan

Selanjutnya banyak tantangan yang harus dihadapi pada masa yang akan datang, yang diperkirakan akan semakin kompleks. Globalisasi, di satu pihak dapat membuka lebih banyak peluang dan kesempatan. Tetapi globalisasi, yang juga ditandai dengan meningkatnya persaingan bebas, akan mengharuskan segenap komponen bangsa untuk meningkatkan daya saing. Teknologi, transportasi dan telekomunikasi-informasi yang berkembang pesat, dapat mengarah pada terbentuknya dunia yang terbuka dan tanpa batas. Dengan demikian globalisasi dapat memperlemah pengawasan pemerintah terhadap faktor-faktor yang berdampak negatif terhadap kesehatan.
Indonesia yang masih rendah kualitas SDM dan rawan masalah politik, ekonomi, sosial dan budayanya (poleksosbud) akan rentan terhadap masalah kesehatan dan masalah yang berpengaruh terhadap kesehatan yang datang dari negara lain. Penetrasi budaya negatif yang datang dari luar akan susah sekali dicegah.
Sejalan dengan itu demokratisasi, hak asasi manusia dan pelestarian lingkungan hidup telah menjadi tuntutan dunia yang semakin mendesak. Berbagai komitmen internasional seperti Millennium Development Goals, Sustainable Development Principles, World Fit For Children dan agenda-agenda internasional lainnya di bidang kesehatan perlu memperoleh perhatian. Itu semua merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh segenap bangsa, termasuk oleh promosi kesehatan.
Secara nasional, dampak dari krisis multi dimensi di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya dan keamanan yang sudah mengarah pada disintegrasi bangsa masih terasa. Berbagai kondisi tersebut berdampak luas terhadap peri kehidupan masyarakat dalam berbangsa dan bernegara, diantaranya meningkatnya pengangguran dan jumlah penduduk miskin, menurunnya derajat kesehatan penduduk yang pada gilirannya berpengaruh terhadap mutu sumberdaya manusia Indonesia. Selain itu penurunan kualitas lingkungan yang terjadi terus menerus, urbanisasi dan perubahan keadaan kerja, serta transisi politik, epidemiologi dan demografi telah memberikan kontribusi terhadap semakin kompleksnya masalah.
Selanjutnya desentralisasi yang diharapkan dapat lebih mendekatkan aspirasi rakyat pada tujuan pembangunan serta meningkatkan peran aktif mereka pada jalannya pembangunan, masih dalam masa transisi. Desentralisasi masih berkutat pada bidang politik (itupun baru bersifat formal) sedangkan cita-cita desentralisasi yang sebenar-benarnya masih jauh dari kenyataan. Dengan beberapa pengecualian, banyak daerah yang justru mengalami kemerosotan dalam pelayanan kesehatannya. Pembangunan kesehatan kurang memperoleh perhatian, organisasi Dinas Kesehatan di daerah rancu, penempatan tenaga dan mutasi jabatan tidak berdasar kemampuan dan keahlian, dll. Posisi Promosi Kesehatan jug tidak jelas. Sehingga pemeo lama berulang kembali: “Health education is everybody bussiness, but in reality it is nobody bussiness”.
Akibatnya banyak masalah kesehatan bermunculan. Demam berdarah, malaria, infeksi saluran pernafasan atas (ISPA), TBC merebak di mana-mana. Bahkan busung lapar, kurang gizi, flu burung muncul menjadi isu nasional. Belum lagi pelayanan kesehatan di Rumah Sakit juga menjadi sorotan dan banyak dikeluhkan masyarakat. Profesionalisme tenaga kesehatan khususnya dokter bayak dipertanyakan masyarakat. Dalam pelayanan kesehatan terjadi dehumanisasi. Sedangkan perilaku negatif masyarakat di bidang kesehatan meningkat.
Permasalahan dan tantangan tersebut pada masa yang akan datang akan menjadi semakin besar dan kompleks. Promosi Kesehatan seharusnya mempunyai andil dalam menjawab permasalahan dan tantangan tersebut di atas.



Rencana Aksi ke depan: Kerja keras secara cerdas dan ikhlas !

Bagaimana menjalani masa kini dan menghadapi masa datang? Pertama, sebagaimana telah disebutkan di depan (bab VIII) kita harus memperkuat tekad dan semangat. Kita harus pantang menyerah dan tidak akan putus asa menghadapi berbagai kesulitan, masalah dan tantangan sekompleks apapun. Kuncinya terletak pada SDM, maka kuantitas dan kualitas SDM perlu terus menerus ditingkatkan.
SDM yang mempunyai kecerdasan intelektual, emosional, sosial dan spiritual. SDM yang mempunyai kepekaan tinggi (dimensi sosial), yang mau bekerja keras (dimensi fisik), secara cerdas (dimensi intelektual) dan ihlas (dimensi spiritual), serta mampu memainkan berbagai peran.
Selanjutnya kebijakan promosi kesehatan dimantapkan. Didukung dengan peraturan dan kebijakan operasional yang mantap, baik di pusat maupun daerah. Perbaikan kualitas kesehatan, pemberdayaan masyarakat dan mengurangi kesenjangan di bidang kesehatan harus merupakan fokus pembangunan nasional. Paradigma Sehat dengan visi Indonesia Sehat-nya perlu terus dikembangkan dan dioperasionalkan. Visi, misi, strategi dan hal-hal yang telah dituangkan dalam Keputusan Menkes 1193/2004 tentang Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan perlu dicermati, ditindak lanjuti dan dioperasionalkan. Hal-hal yang telah menjadi komitmen misalnya yang tertuang dalam Millenium Development Goals perlu diagendakan secara saksama dan didukung sepenuhnya.
Kemudian jaringan kemitraan dengan berbagai pihak perlu terus menerus dijalin dan dikembangkan. Hal itu karena untuk menghadapi berbagai faktor yang berpengaruh terhadap kesehatan dalam rangka peningkatan kualitas kesehatan memerlukan adaptasi kebijakan dan tindakan nyata dalam pelaksanaannya. Kemitraan perlu dikembangkan secara lintas sektor, lintas program, Pusat-Daerah, pemerintah-masyarakat termasuk dunia usaha dan LSM, dan kemitraan lainnya, termasuk antara unsur pelayanan dengan kalangan ilmuwan di Perguruan Tinggi. Demikian pula jaringan kemitraan dengan badan dunia dan berbagai organisasi internasional juga perlu terus dikembangkan.
Selanjutnya agar langkah ke depan tersebut dapat lebih terencana dan nyata, perlu disusun rencana aksi yang jelas. Rencana aksi Promosi Kesehatan tersebut, yang dikembangkan dari Strategi Peningkatan Promosi Kesehatan dalam Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan (yang telah ditetapkan dalam Keputusan Menkes 1193/2004), adalah sebagai berikut :

  • Pengembangan Kebijakan Promosi Kesehatan Daerah, yang diperlukan untuk mengupayakan adanya landasan hukum dalam rangka memperkuat penyelenggaraan promosi kesehatan di daerah.

  • Peningkatan Sumber Daya Promosi Kesehatan dalam rangka peningkatan SDM, dana dan sumber daya lain, yang diperlukan untuk penyelenggaraan promosi kesehatan yang berkualitas. Khususnya peningkatan SDM dilaksanakan dengan peningkatan mutu dan jumlah pejabat fungsional PKM di berbagai lini, serta peningkatan kemampuan tenaga-tenaga kesehatan yang berada di garis depan (yaitu perawat, bidan, sanitarian, dll di Puskesmas), Rumah Sakit, dan sarana kesehatan lain, dalam bidang pemberdayaan masyarakat. Peningkatan pembiayaan promosi kesehatan dilakukan dengan advokasi kepada Pemda, DPRD, DPR, dan Departemen Keuangan, serta berbagai pihak lainnya.

  • Pengembangan Organisasi Promosi Kesehatan, yang diperlukan untuk mengupayakan posisi yang sesuai bagi unit promosi kesehatan agar mampu mengemban tugas dan tanggung jawab yang diberikan.

  • Integrasi dan sinkronisasi Promosi Kesehatan dalam program-program kesehatan, yang dilakukan dengan menyusun rancangan (design) promosi kesehatan untuk berbagai tatanan (setting) yang ada (rumah tangga, institusi pendidikan, tempat kerja, tempat umum dan sarana kesehatan), melalui berbagai kegiatan pemberdayaan masyarakat, bina suasana dan advokasi secara terpadu.

  • Pendayagunaan data dan pengembangan Sistem Informasi Promosi Kesehatan, yang diperlukan untuk mewujudkan promosi kesehatan yang berdasar pada fakta (evidence based). Ini dilakukan dengan peningkatan kualitas perencanaan dan perancangan promosi kesehatan, pencatatan dan pelaporan, dll.

  • Peningkatan kerjasama dan kemitraan, baik lintas program maupun lintas sektor, termasuk dengan tokoh-tokoh masyarakat (dari kalangan agamawan, politik, budayawan, selebriti), LSM, wartawan, jurnalis dan reporter (cetak, radio dan televisi). Itu semua perlu dilakukan untuk merespons masalah-masalah kesehatan yang aktual di masyarakat sehingga dapat menyentuh kepentingan masyarakat secara langsung.

  • Pengembangan metode, tehnik dan media, untuk menemukan metode, tehnik dan media pemberdayaan masyarakat, bina suasana dan advokasi serta kemitraan yang sesuai dengan ciri-ciri tertentu masyarakat, baik dari segi geografi, sosial, budaya, maupun ekonomi dan politik. Selain itu juga untuk meningkatkan pendayagunaan IPTEK dalam promosi kesehatan, termasuk pendayagunaan internet dan jaringan berbasis web.

  • Memfasilitasi peningkatan promosi kesehatan, untuk meningkatkan kemampuan daerah kabupaten/kota yang merupakan titik berat otonomi daerah dalam penyelenggaraan promosi kesehatan. Ini dilakukan oleh provinsi bersama dengan pusat, melalui daerah-daerah percontohan yang kemudian direplikasi ke daerah lain.

Berbagai rencana aksi tersebut perlu dilandasi dengan tekad dan semangat yang mantap. Kita berharap bahwa hari esok harus lebih baik daripada hari ini dan kemarin. Dengan demikian kita akan termasuk orang yang beruntung, sebagaimana kata orang yang sangat bijak, yang dikutip di awal bab ini.